Minggu, 13 September 2009

Jangan Lewatkan I'tikaf

Jangan Lewatkan I'tikaf. Iya itulah salah satu ibadah lain dari yang lain dan juga hanya ada dibulan ramadhan saja. Walaupun tidak setiap hari usahakan untuk beri'tikaf. Minimal sekali daripada nggak sama sekali. I'tikaf adalah salah satu sarana yang sangat mujarab untuk berkhalwat dengan Allah Swt. Dan sebagai usaha untuk menjemput malam lailatul qodar.

I'tikaf diakukan di sepuluh hari yang akhir. Jika kita nggak bisa setiap hari maka sangat disarankan di hari malam yang ganjil. Rasulullah Saw melakukan i'tikaf setiap hari selama sepuluh malam yang terakhir. Namun karena tidak diwajibkan maka tidak setiap hari tidak mengapa. tapi sangat bagus jika dilakukan setiap hari.

Apa yang dilakukan saat i'tikaf ? I'tikaf atau berdiam diri di masjid. Jadi kita melakukan diam diri di masjid, tapi bukan berarti diam tanpa berbuat apa-apa. Saat kita i'tikaf kita bisa melakukan sholat-sholat sunnah, dzikir, membaca al-Quran, berdo'a dan lain sebagainya. Tapi ingat kalau saat membaca Al-Quran jangan sampai mengganggu orang lain yang juga sedang dalam kondisi i'tikaf. Kita harus menghormati mereka untuk berkhalwat dengan Allah Swt juga.

Saat beri'tikaf usahakan jangan mengurusi urusan keduniaan lagi. Cukup pusatkan perhatian untuk berkhalwat dengan Allah Swt. Ramadhan tanpa i'tikaf sangatlah kurang lengkap. Ibarat minum sama minum air susu tanpa gula :d

Mari kita semua dalam ramadhan kali ini kita menyempatkan diri dengan beri'tikaf. InsyaAllah hati akan semakin tenang dengan i'tikaf.

LANJUT!

Sabtu, 05 September 2009

Demi Mengemban Amanah (2 habis)

Sampai dikos segera aku ambil surat-surat dan dokumen lain yang sudah aku print beserta flashdisk berisi file-file masternya. Segera aku keluarkan sepedaku. Aku menuju kampus. Tidak sebagaimana biasanya, kali ini aku mangayuh lebih cepat dari biasanya, pikirku biar segera sampai sehingga aku bisa banyak waktu untuk istirahat. Biasanya perjalanan ke kampus dari kos-kosanku sekitar setengah jam. “Semoga kali ini 20 menit bisa sampai dikampus”, aku bicara dalam hati.


“Brukkk…..”
“Astaghfirullah…”
“ Iinnalillahi wa inna ilaihi rojii’un …….”
“Aduh….. sakit…..”, aku mengerang kesakitan.
“Hey lihat-lihat dong kalau naik kendaraan”, seorang bapak yang menabraku memarahiku.
“Bapak ini bagaimana seeh, bukannya bapak yang menabrak saya…! Bapak mau menyeberang lihat-lihat dulu dong”, aku membela diri.
“Ah.. dasar anak muda sulit dinasehati, tadi kamu ngebut kan ? ”
“Iya, tapi bapak kan yang menabrak saya ?”
Warga sekitar segera berdatangan sehingga kami berhenti saling menyalahkan dan berjalan kepinggir jalan. Aku berjalan pincang karena kakiku sakit. Setelah di pinggir aku segera duduk, sesekali aku baringkan sesaat kemudian duduk lagi. Rasanya seperti melayang dan raa pusingnya pun semakin menjadi-jadi.
“Aduh….” Aku berusaha menahan sakit.
“Dik minum dulu, ini ada air putih”, seorang perempuan tua memberiku air putih satu gelas.
“Ter… terimakasih Bu, semoga di ridhloi dan diberkahi Allah Swt”, kebiasaanku mendo’akan orang yang berbuat baik kepadaku. Segera aku terima dan aku habiskan airnya.
“Aamiin …... Apanya yang sakit, dik ?”
“Ini Bu !”, aku tunjuk ke arah kaki kiriku.
“Jari kakimu berdarah dik ….”
“Iya, Bu…” aku mengiyakan.
“Bu…..minggir,biar saya beri obat merah dan saya perban jari kakinya…” seorang laki-laki yang baru datang membawa obat merah dan perban, rupanya dia sudah mengetahui kalau saya terluka kemudian dia segera pulang kerumahnya dan kembali lagi. Napasnya terlihat tersenggal-senggal karena berlari dari rumahnya yang tidak jauh dari saya mengalami kecelakaan. Kebetulan saya kecelakaan tepat berada didepan rumahnya.
Ibu tersebut langsung berdiri.
“Bu ini gelasnya….Dan kalau boleh mengetahui, siapa nama Ibu ?” aku berusaha mengenal orang yang menolongku sebelum dia telanjur pergi dari tempat itu.
“Panggil saja Bu Aminah” jawabnya.
“Baik Bu Aminah…. terimakasih atas bantuannya. ”
“Sama-sama dik”, Bu Aminah membalas sembari membalikan badan dan berjalan sedikit menjauh dari saya, memberikan kesempatan pemuda yang memintanya minggir untuk mengobati kaki saya.
Di sisi yang lain orang berkerumun berbincang-bincang dengan orang yang menabraku, entah apa yang dibicarakan aku tak bisa mendengarkan dengan jelas karena suasana ramai, dan aku terpusat menahan rasa sakit kakiku.
Di depanku, seorang laki-laki menggantikan Bu Aminah dengan wajah serius tanpa kata membersihkan darah dikakiku sebelum diberi obat merah dan diperban.
“Terimakasih… mas, terimakasih banyak” aku lihat dia membersihkan dengan serius.
“Oh iya mas, sama-sama”, dia menjawab. Dia kelihatan sebaya dengan saya.
“Aduh…auw…” aku mengerang kesakitan tatkala kapasnya mengenai luka kakiku.
“Sakit ya mas, maaf ya ?” , dia merasa bersalah karena kapasnya menyentuh lukaku agak keras sehingga aku mengerang kesakitan.
“Iya, sakit. Tapi mas tak perlu minta maaf, saya yakin mas tidak sengaja. Dan lagian kan sudah semestinya kalau membersihkan luka harus mengenai lukanya” , aku mencoba agar dia tidak merasa bersalah sehingga biar lebih tenang mengobati sakit saya.
“Ngomong-ngomong, mas ini siapa ya namanya ?”, aku ingin mengenalnya.
“Syafrudin, panggil saja Udin”, dia mengenalkan namanya.
“O.. mas Udin ya ?” aku meyakinkan.
“Iya… kalau kamu sendiri siapa ?”, dia balik bertanya.
“Saya Fahmi Nasrullah, panggil saja Fahmi ” saya menjawabnya.
“Mas Fahmi, bagaimana tadi ceritanya kok sampai terjadi kecelakaan ?”, rasa keingintahuannya muncul.
“Begini, saya kan sebenarnya agak pusing tapi saya dapat amanah untuk mengantarkan surat-surat ….., eh rusak apa tidak ya suratnya ?”
Aku segera memotong penjelasanku, aku buka tasku.
“Alhamdulillah tidak rusak….” aku berbicara spontan setelah mengetahuinya.
“Nah, ini mas aku ingin mengantarkan surat-surat dan dokumen ini ke temanku di kampus, tapi saat ini aku sakit pusing jadi aku terpaksa ngebut biar cepat sampai. Eh … tiba-tiba orang itu menabraku (aku menunjuk ke orang yang menabraku yang berada sekitar 6 meter dariku). Dia ingin menyeberang tapi tidak menghiraukan aku yang sedang lewat, mentang-mentang saya naik sepeda onthel”, aku menlanjutkan cerita.
Tiba-tiba penabarak diriku mendekatiku.
“Dik minta maaf ya sudah membuat adik demikian”.
Entah karena desakan orang banyak atau atas kemauan dirinya sendiri dia berbuat demikian, tetapi wajahnya terlihat dia begitu menyesali perbuatannya.
“Ia Pak, saya juga minta maaf …”, aku balas dan spontan aku tersenyum kepadanya.
Entah mengapa, rasa jengkel, marah dan benci yang bercampur aduk terhadapnya hilang begitu saja ? Pengakuan dia akan kesalahannya telah membalik hatiku 180 derajat. Kini hanya sisa pedih dan sakit kakiku karena terluka.
“Dik, ayo kedokter. Biar nanti saya yang membiayai”, dia merasa bertanggungjawab atas kejadian ini.
“Oh nggak usah Pak, nggak apa-apa kok…Cuma luka sedkit”, aku berusaha menolaknya.
“Nggak apa-apa Dik… tadi saya salah …”, dia berusaha meyakinkan niat baiknya.
Justru karena ketulusannya itu membuat saya malu untuk mengiyakannya, “Tidak usah Pak, bentar juga sembuh dan ini juga sudah diobati oleh Mas Udin“, sambil aku arahkan wajahku kepada Safrudin yang sudah hampir selesai mengobati lukaku.
“Kalau begitu saya harap jangan kamu tolak ini, anggap saja ini sebagai pengganti kerugian atas dirimu”, penabrak itu seraya menyerahkan uang 2 lembar Rp 50.000.
“Sudah nggak usah Pak”, aku mencoba menolaknya.
“Tidak…, adik harus menerimanya, agar hatiku menjadi tenang lagian uang ini bisa adik pergunakan untuk berobat atau mungkin memperbaiki sepeda adik jika rusak”, dia memaksaku.
Akhirnya aku terima uang itu “ Baiklah kalau begitu Pak…”
Beberapa lama kemudian selesai sudah Safrudin mengobatiku dan orang-orang pun sudah sedikit-demi sedikit meninggalkan aku, hanya tinggal beberapa orang saja yang belum meninggalkan tempat itu. Karena sudah semakin malam akhirnya segera aku ambil sepedaku. Untung sepedaku tidak rusak sehingga aku bisa langsung melanjutkan perjalanku.
“Mari semuanya, terimakasih atas pertolongan dan perhatiannya”, aku berpamitan kepada orang-orang yang masih menungguiku.
“Iya dik”, hampir serempak mereka menjawab.
“Hati-hati jangan sampai kecelakaan lagi”, salah satu diantara mereka menasehatiku.
“Iya insyaAllah, terimakasih”, aku membalasnya dan langsung kukayuh pelan-pelan sepedaku sembari aku tahan rasa sakit kaki dan pusing kepalaku.
Beberapa lama kemudian sampailah aku dikampus, langsung aku menuju mushola kampus. Di mushola terlihat teman-temanku aktivis UKKI menungguku. Mereka menyambutku.
“Assalaamu’alaykum …”, aku memulai mendo’akan mereka.
“Wa’alaykumussalam warahmatullah”, mereka serempak menjawab.
“Afwan ane terlambat”, aku memulai terlebih dahulu agar mereka tidak banyak menanyakan alasan keterlambatanku.
“Iya, tidak apa-apa”, Arief menjawabku. Dia bendahara UKKI.
“Eh, kaki antum kenapa ?”, Sulaiman bertanya. Sulaiman adalah Ketua UKKI.
Pertanyaannya mengundang teman-teman yang lain melihat kakiku.
“Oh ini, nanti saja insyaAllah ane ceritakan”, aku menjawab sambil kubuka tas dan kucari-cari surat dan flasdisknya.
“Ini akhi surat-surat yang diamanahkan kepada ane dan ini filenya ada di flasdisk”, segera aku serahkan surat dan flasdisknya.
“Syukran akhi, antum telah menjalankan amanah dengan baik”, Sulaiman memujiku.
“Bruk….”, aku tak ingat apa-apa lagi, aku pingsan.

LANJUT!

Demi Mengemban Amanah (1)

Matahari semakin meninggalkan siang. Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang bersahutan dari corong mushola-mushola. Aku segera berwudhlu dan menuju Masjid al-Ikhlas yang tak jauh dari tempat tinggalku. Tapi aku merasa sedikit pusing, badan terasa meriang dan suhu badan agak panas. Tanda-tanda demikian mirip sekali dengan tanda-tanda sakitku setahun yang lalu. Waktu itu sebenarnya tidaklah sakit, tetapi cuma kecapekan saja. Sehingga kali ini aku memutuskan tetap memaksakan diri berangkat ke masjid, karena beribadah memang kadang perlu untuk dipaksakan agar lama-kelamaan terbiasa. Aku teringat dalam acara training sebulan yang lalu oleh Super Trainer terkenal Reza Syarief, katanya “Pada mulanya kamu membuat kebiasaan-kebiasaan, selanjutnya kebiasaan-kebiasaan akan membentuk dirimu”.


Dan aku kira siapapun untuk mencapai derajat ikhlas pasti pada mulanya juga mengalami perjuangan yang hebat baik fisik maupun bathinnya untuk mencapainya.
Cita-cita tanpa ikhtiar
semu bak fatamorgana
Ikhtiar tanpa keberanian
sia-sia tak bermakna
Keberanian tanpa pengorbana
bagai menyiapkan kegagalan
Pengorbanan tanpa keikhlasan
hanya memetik sengsara
Menderita
Menjadi seorang abdillah yang sempurna adalah cita-cita yang tak dapat ditawar lagi, sebagaimana tujuan manusia diciptakan yaitu hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt dan menjadi kalifah-Nya. Surga itu mahal. Maka dengan tekad yang bulat aku berangkat ke Masjid al-Ikhlas, masjid terdekat dan terbesar di daerah tinggalku.
Setelah salam sholat, kepalaku terasa semakin pusing. Bisikku, Semoga tidak terjadi apa-apa padaku karena rencanaku sehabis sholat aku akan ke kampus untuk menyerahkan surat undangan pembicara, surat peminjaman peralatan dan beberapa dokumen lainnya untuk kegiatan Daurah UKKI PENS-ITS yang akan diadakan pekan depan. “Yaa Allah, saat ini aku dapat amanah dan hari ini aku harus menyampaikannya ke teman-teman dikampus sebagaimana keputusan syura beberapa hari yang lalu. Aku tidak ingin mengingkari apa yang telah diputuskan bersama dalam musyawarah dengan saudara-saudaraku.” Aku mohon kepada Pemilik alam ini “Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk melakukannya. Jangan sampai karena perbuatanku kegiatan Daurah tersebut gagal terlaksana atau ditunda. Laa haula walaa quwwata illa billah”, aku baca dengan mantap namun aku tidak duduk dengan tenang. Badanku semakin gemetar. Aku cepatkan dzikir dan do’anya dan aku segera pulang.

(Bersambung ...)

LANJUT!
 Copyright @ 2009. Dunia Islam Indonesia