Jantung berdetak memompa darah, selanjutnya darah akan beredar pada bagian-bagian tubuh dengan benar sesuai jalur yang ditentukan untuknya. Manusia akan hidup secara fisik selama jantung masih terus berdetak menjalankan fungsinya.
Apa yang terjadi jika jantung berhenti bergerak ? Tentu saja manusia akan mati. Bahkan ketika darah mengalir tidak pada tempatnya saja sudah membuat manusia sakit baik secara fisik, mental ataupun keduanya. Sering didapatkan berita orang yang mengalami pendarahan di otak karena kecelakaan secara umum akhirnya meninggal atau kalaupun sembuh secara fisik tidak dapat sembuh secara total bahkan bisa menyebabkan mental seseorang tidak sehat.
Darah akan menjalankan fungsinya secara optimal jika bergerak dan bergerak terus pada saluran yang telah ditentukan.
'Pergerakan' adalah sebuah pilihan yang harus dijalani tidak sekadar ditetapkan. Manusia harus 'bergerak istiqomah' agar memberikan manfaat yang optimal baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kehidupan lain. Selama masih hidup produktivitas harus ada sebagai wujud 'pergerakan'. Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Apa jadinya jika kita berhenti di tengah jalan raya apalagi berhenti dengan tiba-tiba ketika orang lain tengah berusaha mengendarai kendaraan masing-masing ?
Bergerak adalah sebuah keharusan tetapi harus pada jalan yang benar, sehingga tidak membuat kerusakan diri sendiri maupun kehidupan yang lain. Jalan yang benar adalah jalan yang ditunjukkan Allah Swt melalui wahyu dan para Nabi dan Rasul-Nya. Dan jalan itu merupakan jalan yang mutlak untuk dilalui jika menginginkan kemanfaatan atas pergerakan itu, sebagaimana matahari yang bergerak terus melalui garis edar yang telah ditentukan baginya.
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. “ (QS. Yaasiin [36]: 38)
Allah Swt telah meniupkan ruh-Nya kepada manusia sehingga manusia bisa hidup. Dilengkapi pula manusia dengan akal agar ia bisa memilih jalan mana yang benar dan mana yang salah. Allah Swt telah menunjukkan jalan manusia melalaui kitab-kitab suci, para nabi dan rasul-Nya. Bagi muslim Allah Swt menurunkan Al-Qur'an. Dengan bekal akal dan pembeda (al-furqon) tersebut agar manusia mengetahui 'garis edar' mana yang harus di laluinya. Jika manusia berjalan diluar 'garis edar' maka 'kiamat' akan terjadi. Begitupula kiamat yang sesungguhnya hanya akan terjadi bila matahari terbit dari barat tidak sesuai garis edarnya yang telah ditetapkan.
“......Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.....(QS. Ar-Ra'd[13]:11)”
Maka berubahlah ! Bergerak, bergerak dan bergerak untuk perubahan, itulah ciri kehidupan. Keberuntungan hanya akan didapatkan oleh mereka yang bersedia berubah, hari ini lebih baik dari hari kemarin.
LANJUT!
Kamis, 20 Agustus 2009
Niat : Nilai segala amal kita
Setelah dilahirkan, apakah selanjutnya manusia hanya untuk dimatikan ? Tetapi mengapa harus ada kematian di usia balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua, bahkan masih didalam kandungan ? Mengapa mereka tidak dimatikan dalam usia yang sama semua ?
Kematian adalah sebuah kepastian yang harus dirasakan oleh setiap makhluk termasuk manusia, tetapi kebanyakan manusia sering terlena dengan kehidupan dunia karena tak mengetahui kapan kematian menjemputnya. Begitulah Allah Swt berkehendak dengan ke-Maha Kuasa-Nya, dengan Maha Adil-Nya untuk memberikan balasan yang sempurna pada setiap makhluknya.
Surga memang mahal harganya tak dapat dibeli dengan emas bergunung-gunung, bahkan dunia seisinya. Namun hanya dengan rahmat dari Allah Swt insan-insan mulia dapat mendiaminya. Insan-insan mulia tersebut adalah insan-insan yang benar-benar berusaha menunaikan kewajibannya didunia untuk beribadah kepada Allah Swt, bukan mereka yang selalu terlena atas kehidupan dunia hingga ajalnya.
Selama nyawa masih ada cita-cita harus ada yaitu cita-cita untuk menjadi abdillah yang sempurna. Mulai saat ini harus kita niatkan untuk mencapai cita-cita tersebut karena segala amal tergantung dengan niatnya, dan ia akan mendapatkan apa yang diniatkannya.
Manusia hidup dibumi adalah dalam sebuah perjalanan, perjalanan menuju akherat. Dalam perjalanannya, manusia hidup tidak lepas dari dua tujuan, dunia dan akherat. Barangsiapa yang tidak bersungguh-sungguh meraih dunia maka ia akan sengsara, barangsiapa tidak bersungguh-sungguh berusaha untuk akheratnya maka jangan memimpikan surga.
Sudah jelas tujuan kita. Tetapi kita sering lupa tujuan kita, sehingga setiap perbuatan/amal kita-pun sering bukan untuk tujuan akherat, tetapi sebatas dunia. Begitu hina.
Kita telah diajari untuk menyebut asma Allah tatkala memulai beramal/berbuat dan mengucapkan syukur kepada Allah tatkala selesai-nya. Kita diajari untuk selalu mengingat-Nya, sehingga setiap amal/perbuatan kita selalu ada niat karena-Nya.
LANJUT!
Kematian adalah sebuah kepastian yang harus dirasakan oleh setiap makhluk termasuk manusia, tetapi kebanyakan manusia sering terlena dengan kehidupan dunia karena tak mengetahui kapan kematian menjemputnya. Begitulah Allah Swt berkehendak dengan ke-Maha Kuasa-Nya, dengan Maha Adil-Nya untuk memberikan balasan yang sempurna pada setiap makhluknya.
Surga memang mahal harganya tak dapat dibeli dengan emas bergunung-gunung, bahkan dunia seisinya. Namun hanya dengan rahmat dari Allah Swt insan-insan mulia dapat mendiaminya. Insan-insan mulia tersebut adalah insan-insan yang benar-benar berusaha menunaikan kewajibannya didunia untuk beribadah kepada Allah Swt, bukan mereka yang selalu terlena atas kehidupan dunia hingga ajalnya.
Selama nyawa masih ada cita-cita harus ada yaitu cita-cita untuk menjadi abdillah yang sempurna. Mulai saat ini harus kita niatkan untuk mencapai cita-cita tersebut karena segala amal tergantung dengan niatnya, dan ia akan mendapatkan apa yang diniatkannya.
Manusia hidup dibumi adalah dalam sebuah perjalanan, perjalanan menuju akherat. Dalam perjalanannya, manusia hidup tidak lepas dari dua tujuan, dunia dan akherat. Barangsiapa yang tidak bersungguh-sungguh meraih dunia maka ia akan sengsara, barangsiapa tidak bersungguh-sungguh berusaha untuk akheratnya maka jangan memimpikan surga.
Sudah jelas tujuan kita. Tetapi kita sering lupa tujuan kita, sehingga setiap perbuatan/amal kita-pun sering bukan untuk tujuan akherat, tetapi sebatas dunia. Begitu hina.
Kita telah diajari untuk menyebut asma Allah tatkala memulai beramal/berbuat dan mengucapkan syukur kepada Allah tatkala selesai-nya. Kita diajari untuk selalu mengingat-Nya, sehingga setiap amal/perbuatan kita selalu ada niat karena-Nya.
LANJUT!
Rabu, 19 Agustus 2009
Islam : Addin yang benar dan wajib dibenarkan
Islam dibenci, Islam dimusuhi oleh mereka-mereka yang tidak mengetahui, tidak mengerti dan mereka yang dengki. Mereka benci karena belum mengetahui bahwa Islam itu benar. Mereka dengki karena Islam adalah benar.
Rasulullah Saw bersabda :
"Paman! Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku menghentikan kegiatan dan prinsip hidupku, aku tidak bakal menghentikannya, bahkan sampai mati sekalipun!"
Sekalipun tidak memungkinkan manusia melakukan (meletakan matahari dan bulan) keteguhan akidah Rasulullah tidak goyah. Rasulullah Saw melakukan dakwahnya bukan untuk meminta pembayaran kepada manusia atas dakwahnya. Demikianlah sikap yang benar tatkala telah mengetahui kebenaran yang tiada diragukan lagi.
Islam telah diridhai Allah Swt menjadi addin bagi manusia. Dimana Islam tidak bisa dipisahkan dengan al-Qur'an. Oleh karena itu setiap muslim wajib memahami dan menjalankan isi al-Qur'an.
Untuk menghapus sebersih-bersihnya akan keraguan manusia terhadap Islam kiranya kita perlu menelaah kebenaran al-Qur’an. Al-Qur'an itu sudah berumur ribuan tahun, tetapi kemurnian dan kebenarannya tetap terjaga. Bahkan semakin tersingkap bukti-bukti kebenarannya.
Pada kala diturunkan, belum ada peralatan dokter yang canggih, namun al-Qur'an telah dapat menjelaskan bagaimana proses kejadian manusia hingga lahir dibumi secara detail. Kala itu tidak ada alat kapal selam, tapi al-Qur'an telah menjelaskan bahwa didalam laut ada pemisah antara air tawar dan air asin. Kala itu tidak ada teropong yang super canggih, tapi al-Qur'an telah memberitakan peredaran matahari, bulan dan kejadian jagat raya ini. Dan semua isi al-Qur'an adalah benar semua. Bagaimana mungkin Islam yang telah diridhai sebagai addin ini salah, kecuali mereka yang tidak mengerti, mereka yang tidak mengetahui dan mereka yang dengki.
Sungguh kedengkian itu tidak akan menyelamatkan. Dan ketidakmengertian dan ketidaktahuan itu hanya akan membawa kebingungan. Oleh karena itu pegang erat al-Quran jadikan ia pedoman hidup. Benarkan Islam dengan mengamalkan al-Quran.
“... Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.....”(QS. Al-Maidah[5]:3)
LANJUT!
Rasulullah Saw bersabda :
"Paman! Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku menghentikan kegiatan dan prinsip hidupku, aku tidak bakal menghentikannya, bahkan sampai mati sekalipun!"
Sekalipun tidak memungkinkan manusia melakukan (meletakan matahari dan bulan) keteguhan akidah Rasulullah tidak goyah. Rasulullah Saw melakukan dakwahnya bukan untuk meminta pembayaran kepada manusia atas dakwahnya. Demikianlah sikap yang benar tatkala telah mengetahui kebenaran yang tiada diragukan lagi.
Islam telah diridhai Allah Swt menjadi addin bagi manusia. Dimana Islam tidak bisa dipisahkan dengan al-Qur'an. Oleh karena itu setiap muslim wajib memahami dan menjalankan isi al-Qur'an.
Untuk menghapus sebersih-bersihnya akan keraguan manusia terhadap Islam kiranya kita perlu menelaah kebenaran al-Qur’an. Al-Qur'an itu sudah berumur ribuan tahun, tetapi kemurnian dan kebenarannya tetap terjaga. Bahkan semakin tersingkap bukti-bukti kebenarannya.
Pada kala diturunkan, belum ada peralatan dokter yang canggih, namun al-Qur'an telah dapat menjelaskan bagaimana proses kejadian manusia hingga lahir dibumi secara detail. Kala itu tidak ada alat kapal selam, tapi al-Qur'an telah menjelaskan bahwa didalam laut ada pemisah antara air tawar dan air asin. Kala itu tidak ada teropong yang super canggih, tapi al-Qur'an telah memberitakan peredaran matahari, bulan dan kejadian jagat raya ini. Dan semua isi al-Qur'an adalah benar semua. Bagaimana mungkin Islam yang telah diridhai sebagai addin ini salah, kecuali mereka yang tidak mengerti, mereka yang tidak mengetahui dan mereka yang dengki.
Sungguh kedengkian itu tidak akan menyelamatkan. Dan ketidakmengertian dan ketidaktahuan itu hanya akan membawa kebingungan. Oleh karena itu pegang erat al-Quran jadikan ia pedoman hidup. Benarkan Islam dengan mengamalkan al-Quran.
“... Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.....”(QS. Al-Maidah[5]:3)
LANJUT!
Bertauhid: Memuliakan martabat manusia
Dimana ada komunitas manusia maka akan didapati adanya kepercayaan terhadap adanya makhluk ghaib. Bentuk nyata pengakuannya bermacam-macam: pemberian sesaji di punden, laut, pohon dan tempat lain yang oleh mereka dikeramatkan; penaburan bunga di perempatan jalan; mengeramatkan keris, tombak, pedang dan masih banyak lagi.
Bermacam alasan yang mendasari semua itu. Diantaranya, keinginan memenuhi kecenderungan hati untuk mencari keamanan, keselamatan dan kebahagiaan atau mungkin hanya sekadar taklid buta terhadap adat-istiadat yang dilakukan oleh leluhurnya. Mungkin juga karena tidak berdaya menolak adat-istiadat tersebut yang sudah diyakini oleh warga disekitarnya. Berangsur-angsurpun tak sekedar taklid tapi ikut meyakininya juga. Na'udzubillahi min dzalik.
Dibutuhkan keberanian. Itulah pilihan yang tepat untuk membersihkan akidah dari semuanya itu. Bisa jadi karena penolakannya ia akan dikucilkan bahkan dimusuhi oleh mereka yang telah meyakininya. Tetapi inilah kemuliaan yang memang harus dibayar mahal. Hasbiyallah, cukuplah Allah bagiku.
Ketahuilah bahwa manusia harus menjadi makhluk yang lebih mulia daripada makhluk lain, inilah misi hidup manusia. Kemuliaan itu akan sempurna jikalau ia telah sempurna menjadi seorang abdillah -- hamba Allah Swt. Seorang hamba yang tiada menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Iblis diperintahkan bersujud kepada Nabi Adam itu adalah bukti kemuliaan manusia.
Pemberian sesaji ataupun perbuatan mengeramatkan benda (makhluk) adalah wujud dari penyembahan kepada makhluk ciptaan Allah Swt. Perbuatan itu adalah pengakuan bahwa ada makhluk ghaib yang lebih kuat dan lebih sempurna dari dirinya -- yang menguasai dirinya. Secara tidak sadar ia mengakui lebih hina dari makhluk selain dari jenisnya.
Ketahuilah bahwa manusia adalah lebih mulia daripada makhluk lain. Bahkan lebih mulia daripada malaikat, dengan syarat beriman dan menyempurnakan tugasnya untuk sebagai seorang hamba Allah Swt.
Allah Swt adalah satu-satunya yang berhak disembah, tempat bergantung segala sesuatu. Kepada-Nya lah tempat mengadu dan meminta pertolongan. Dia-lah yang mampu memberikan keamanan, kebahagiaan, keselamatan dan apapun yang manusia butuhkan. Percayalah kepada-Nya, penuhilah sunatullah menjadi makhluk yang lebih mulia.
LANJUT!
Bermacam alasan yang mendasari semua itu. Diantaranya, keinginan memenuhi kecenderungan hati untuk mencari keamanan, keselamatan dan kebahagiaan atau mungkin hanya sekadar taklid buta terhadap adat-istiadat yang dilakukan oleh leluhurnya. Mungkin juga karena tidak berdaya menolak adat-istiadat tersebut yang sudah diyakini oleh warga disekitarnya. Berangsur-angsurpun tak sekedar taklid tapi ikut meyakininya juga. Na'udzubillahi min dzalik.
Dibutuhkan keberanian. Itulah pilihan yang tepat untuk membersihkan akidah dari semuanya itu. Bisa jadi karena penolakannya ia akan dikucilkan bahkan dimusuhi oleh mereka yang telah meyakininya. Tetapi inilah kemuliaan yang memang harus dibayar mahal. Hasbiyallah, cukuplah Allah bagiku.
Ketahuilah bahwa manusia harus menjadi makhluk yang lebih mulia daripada makhluk lain, inilah misi hidup manusia. Kemuliaan itu akan sempurna jikalau ia telah sempurna menjadi seorang abdillah -- hamba Allah Swt. Seorang hamba yang tiada menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Iblis diperintahkan bersujud kepada Nabi Adam itu adalah bukti kemuliaan manusia.
Pemberian sesaji ataupun perbuatan mengeramatkan benda (makhluk) adalah wujud dari penyembahan kepada makhluk ciptaan Allah Swt. Perbuatan itu adalah pengakuan bahwa ada makhluk ghaib yang lebih kuat dan lebih sempurna dari dirinya -- yang menguasai dirinya. Secara tidak sadar ia mengakui lebih hina dari makhluk selain dari jenisnya.
Ketahuilah bahwa manusia adalah lebih mulia daripada makhluk lain. Bahkan lebih mulia daripada malaikat, dengan syarat beriman dan menyempurnakan tugasnya untuk sebagai seorang hamba Allah Swt.
Allah Swt adalah satu-satunya yang berhak disembah, tempat bergantung segala sesuatu. Kepada-Nya lah tempat mengadu dan meminta pertolongan. Dia-lah yang mampu memberikan keamanan, kebahagiaan, keselamatan dan apapun yang manusia butuhkan. Percayalah kepada-Nya, penuhilah sunatullah menjadi makhluk yang lebih mulia.
LANJUT!
Senin, 17 Agustus 2009
Filsafat Agama Dalam Pemikiran al-Ghazali
Yang menjadikan al-Ghazali sebagai seorang filosof Islam adalah bahwa masalah-masalah yang dibahas oleh al-Ghazali dan pendapat-pendapat yang dikemukakannya termasuk dalam inti masalah apa yang disebut dalam kalangan filosof “filsafat agama”. Masalah filsafat agama dalam pandangan kalangan konservatif bukanlah masalah pembahasan filsafat yang bebas, tetapi ia adalah pembahasan filsafat agama tertentu.
Pemikiran al-Ghazali didominasi oleh pandangan bahwa agama Islam mengandung dua jenis penafsiran atau pemahaman : pertama, tafsir duniawi yang berkaitan dengan manusia dalam cahaya wujudnya yang sekarang; kedua, tafsir ukhrawi yang berkaitan dengan manusia dalam cahaya wujudnya yang terakhir di hari nanti. Penafsiran yang pertama menonjol dalam kalangan fuhaka atau pemuka-pemuka ilmu syara' atau para pembuat fatwa, yaitu penafsiran yang menyingkap “Islam Syari'at” yang ajarannya mengarah kepada kehidupan dunia yang dipandang sebagai kebun akhirat. Kedua, penafsiran mistik terhadapa agama, suatu penafsiran yang menyingkap kerohanian etika Islam, memalingkan diri dari kehidupan dunia dan mengarahkan ajarannya kepada persiapan bagi kehidupan ukhrawi. Al-Ghazali menyebutnya “ilmu jalan akhirat atau ilmu hati atau ilmu yakin atau ilmu akhirat”.
Dalam teori ma'rifah batin (dzauqiyyah) al-Ghazali memberikan perumpamaan :
“Hati itu seperti kaca, demikian Luh Mahfudz, karena padanya terdapat citra semua wujud ini. Jika kaca dihadapkan dengan kaca, maka beralihlah citra sesuatu yang ada pada salah satunya kepada yang lain. Dan demikianlah tampak citra sesuatu di Luh Mahfudz pada hati jika ia kosong dari nafsu duniawi. Dan jika ia bergelimang dalam nafsu itu, maka alam malakut terhijab kepadanya. Dan jika dalam keadaan tidur, ia kosong dari hubungan indrawi, maka ia melihat hakikat alam malakut, sehingga tampak padanya sebagian citra yang ada di Luh Mahfudz. Dan jika pintu panca indera ditutup, maka timbulah khayal dan karena itu apa yang dilihatnya (terletak) di bawah selubung kulit (yakni terbungkus dalam citra khayal) dan tidak tersingkap sebagai hakekat yang jelas terang. Jika suatu hati telah mati dengan sebab mati orangnya maka tidak ada khayal dan panca indera yang tinggal kekal dan pada waktu itu ia melihat tanpa waham dan khayal, dan kepadanya dikatakan (al-Qur'an, 50:22) yang artinya: Maka kami singkapkan darimu selubung atau tiraimu, sehingga pandanganmu sekarang menjadi tepat jelas”.
Dari perumamaan tersebut mengandung prinsip:
1) Ma'rifah Kasyfiyyah, (ilmu yang diperoleh dari kasyf) adalah pantulan dari citra-citra antara dua cermin yang berhadapan.
2) Hati manusia hanya sipa sedia menerima citra dari Luh Mahfudz jika cerminnya telah terasah mengkilat melalui mujahadah. nilah unsur etis yang diperlukandalam ma'rifah.
3) Apabila jiwa manusia yang mengkilat cerminnya memperhatikan sesuatu hal tertentu, maka cermin lain hanya memantulkan atasnya citra-citra yang sesuai dengan apa yang diperhatikannya. Inilah apa yang disebut “arahan perhatian” dan merupakan bukti kemungkinan pertukaran pantulan antar dua cermin yang berhadapan.
LANJUT!
Pemikiran al-Ghazali didominasi oleh pandangan bahwa agama Islam mengandung dua jenis penafsiran atau pemahaman : pertama, tafsir duniawi yang berkaitan dengan manusia dalam cahaya wujudnya yang sekarang; kedua, tafsir ukhrawi yang berkaitan dengan manusia dalam cahaya wujudnya yang terakhir di hari nanti. Penafsiran yang pertama menonjol dalam kalangan fuhaka atau pemuka-pemuka ilmu syara' atau para pembuat fatwa, yaitu penafsiran yang menyingkap “Islam Syari'at” yang ajarannya mengarah kepada kehidupan dunia yang dipandang sebagai kebun akhirat. Kedua, penafsiran mistik terhadapa agama, suatu penafsiran yang menyingkap kerohanian etika Islam, memalingkan diri dari kehidupan dunia dan mengarahkan ajarannya kepada persiapan bagi kehidupan ukhrawi. Al-Ghazali menyebutnya “ilmu jalan akhirat atau ilmu hati atau ilmu yakin atau ilmu akhirat”.
Dalam teori ma'rifah batin (dzauqiyyah) al-Ghazali memberikan perumpamaan :
“Hati itu seperti kaca, demikian Luh Mahfudz, karena padanya terdapat citra semua wujud ini. Jika kaca dihadapkan dengan kaca, maka beralihlah citra sesuatu yang ada pada salah satunya kepada yang lain. Dan demikianlah tampak citra sesuatu di Luh Mahfudz pada hati jika ia kosong dari nafsu duniawi. Dan jika ia bergelimang dalam nafsu itu, maka alam malakut terhijab kepadanya. Dan jika dalam keadaan tidur, ia kosong dari hubungan indrawi, maka ia melihat hakikat alam malakut, sehingga tampak padanya sebagian citra yang ada di Luh Mahfudz. Dan jika pintu panca indera ditutup, maka timbulah khayal dan karena itu apa yang dilihatnya (terletak) di bawah selubung kulit (yakni terbungkus dalam citra khayal) dan tidak tersingkap sebagai hakekat yang jelas terang. Jika suatu hati telah mati dengan sebab mati orangnya maka tidak ada khayal dan panca indera yang tinggal kekal dan pada waktu itu ia melihat tanpa waham dan khayal, dan kepadanya dikatakan (al-Qur'an, 50:22) yang artinya: Maka kami singkapkan darimu selubung atau tiraimu, sehingga pandanganmu sekarang menjadi tepat jelas”.
Dari perumamaan tersebut mengandung prinsip:
1) Ma'rifah Kasyfiyyah, (ilmu yang diperoleh dari kasyf) adalah pantulan dari citra-citra antara dua cermin yang berhadapan.
2) Hati manusia hanya sipa sedia menerima citra dari Luh Mahfudz jika cerminnya telah terasah mengkilat melalui mujahadah. nilah unsur etis yang diperlukandalam ma'rifah.
3) Apabila jiwa manusia yang mengkilat cerminnya memperhatikan sesuatu hal tertentu, maka cermin lain hanya memantulkan atasnya citra-citra yang sesuai dengan apa yang diperhatikannya. Inilah apa yang disebut “arahan perhatian” dan merupakan bukti kemungkinan pertukaran pantulan antar dua cermin yang berhadapan.
LANJUT!
Tahafutul Falasifah Karya al-Ghazali
Popularitas Tahafut
Kitab filsafat dalam dunia Islam bahkan Kristen di zaman pertengahan adalah Tahafutut-falasifah (484H) karya Imam al-Gazhali dan Tahafutu't-Tahafutut karya Ibn Rusydi sebagai penangkis kitab Tahafutut-falasifah yang ditulis lebih kurang seratus tahun sesudah kitab Tahafutut-falasifah. Dua kitab tersebut sangat erat kaitannya, sehingga yang satu tidak dapat disebut tanpa lainnya.
Dari segi bahasa, Tahafut berarti keguguran dan kelemahan. Orang mengatakan, tahafata'ts-tsaubu, artinya : kain jatuh dan rusak. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatu mati akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-Ghazali terhadap pemikiran mereka. Pada hakikatnya, tikaman itu mamang mematikan, mengenai inti masalah sehingga ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), kendatipun adanya upaya mati-matian dari Ibn Rusydi untuk mempertahankannya.
Saat itu Aristoteles yang dikenal dengan guru pertama dipandang sebagai tonggak (hujjah) dalam filsafat, sehingga dikatakan : kebenaran itu adalah perkataannya (Aristoteles). Karena sebab inilah, al-Ghazali memulai kitabnya dengan mengarahkan kritik tajam kepada Aristoteles. Atas kritiknya ia meminta ma'af dengan mengatakan : “Plato adalah teman dan kebenaran adalah teman, tetapi kebenaran adalah lebih meneman.”
Al-Ghazali juga menyerang kebanyakan orang Yunani yang tidak memeluk agama samawi dan karena itu orang Islam menganggap mereka kafir. Dan mengikuti pemikiran mereka juga akan menjadi kafir. Karena al-Ghazali telah mengangkat dirinya untuk memerangi kekufuran maka salah satu sebab kekufuran yang dilihatnya ialah mulai tersiarnya dalam kalangan umat Islam “nama agung yang mereka dengar, seperti: Socrates, Plato, Aritoteles dan sebagainya”.
Sebab al-Ghazali menyerang Aristoteles adalah perkataan Aristoteles bahwa alam ini kadim (tidak bermula). Dan ini adalah masalah pertama dalam dalam Tahafut yang 1/3 halaman kitabnya digunakan untuk membahas masalah ini.
Agama dan Filsafat
Kitab Tahafut melukiskan suatu isi pertentangan antara agama dan filsafat. Pertentangan ini dalam Islam telah muncul dalam berbagai wujud dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat Islam. Agama samawi didasarkan pada wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul yang ditugaskan menyampaikn risalah kepada umat manusia. Sendi akidah dalam Islam ada tiga : wujud dan keesaan Allah, mengutus para rasul dan kebangkitan ukhrawi. Tetapi al-Ghazali dalam at-Tahafut hanya menyinggung dua sendi saja, yaitu : yang pertama dan ketiga.
Adapun filsafat maka pegangan dasarnya adalah akal bukan wahyu. Terkadang sds kepercayaan kepada Tuhan dan ada juga yang tidak. Dalam kalangan filosof, ada yang beriman dan ada yang kufur yang hanya percaya kepada apa yang dapat diamati oleh indera serta dikuatkan oleh akal. Perbedaan agama dan filsafat adalah mendasar, baik metoda maupun permasalahan (mudu'). Metoda agama jelas berbeda dengan filsafat. Telah berlaku kebiasaan dalam kalangan umat Islam memperbandingkan dua metoda tersebut dengan mengatakan : mendengar dan akal (as-sam'u wa'l-aql), dinukilkan dan dipikirkan, syari'at dan hikmah dan sebagainya.
Penggabungan dua metoda tersebut telah terjadi sejak filsafat muncul dalam kehidupan umat Islam. Pertentangan antar para filosof tidak pernah berakhir sejak abad kedua sampai dengan abad ketujuh Hijriyah. Pertentangan tersebut mencapai puncaknya di akhir abad kelima dengan munculnya kitab Tahafut al-Falasifah dan merupakan permulaan kemenangan agama dan kehancuran filsafat sehingga akhirnya filsafat menghilang sama sekali dalam kehidupan budaya umat Islam karena keluarnya fatwa yang mengharamkan belajar dan mengajar ilmu tersebut.
Kitab Tahafut
Kitab ini terdiri atas empat mukaddimah, 20 masalah dan khatimah. Mukaddimah pertama ialah bahwa Aristoteles telah merupakan seorang pemuka dalam filsafat, menyimpulkan pemikiran-pemikiran para filosof dan karena itu cukup baik menyanggahnya. Kedua beberapa pemikiran filosof tidak bertentangan dengan agama karena merupakan pendapat tentang fisika seperti pembahasan tentang gerhana matahari dan bulan yang dalam dirinya tidak mengandung celaan dan pujian. Namun ada pemikiran lain yang berkaitan dengan dasar-dasar agama, seperti mengatakan alam ini kadim yang tentunya tidak boleh didiamkan. Ketiga, yang dimaksudkan dengan kitab ini menjelaskan keruntuhan (tahafut) para filosof, yaitu menyanggah pemikiran mereka. Sedangkan penjelasan tentang akidah yang benar disebutkan dalam kitab-kitab lain. Keempat, walaupun para filosof mempergunakan matematika dan logika sebagai metoda berpikir, maka itu tidaklah perlu bagi teologi, walaupun keabsahan matematika tidak dapat diingkari. Adapun logika, maka itu alat berpikir yang dipergunakan oleh para filosof seperti yang dipergunakan oleh insan lainnya. Logika itu bukanlah suatu ilmu yang terasing dalam kalangan umat Islam dan mereka menyebutnya ilmu penalaran (nazar) atau ilmu debat (jadal) atau pengetahuan akal (madarik al-'uqul).
Masalah yang duapuluh macam itu dapat dibagi sebagai berikut :
1. Hubungan Allah dengan alam. Meliputi empat masalah :
a) Kadimnya alam.
b) Keabadian alam dan zaman.
c) Allah Pencipta dan Pembuat Alam.
d) Ketidakmampuan membuktikan adanya Pembuat alam.
2. Keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya. (masalah ke-5)
3. Sifat-sifat Ilahi. (masalah ke-6 s/d ke-12)
4. Mengetahui hal-hal yang kecil “juz'iyyat”. (masalah ke-13)
5. Masalah falak dan alam. (masalah ke-14 s/d ke-16)
6. Sebab akibat. (masalah ke-17)
7. Jiwa manusia. (masalah ke-18 dan ke-19)
8. Kebangkitan jasad pada hari akhirat. (masalah ke-20)
Pada bagian khatimah, al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah : kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang kecil-kecil (juz'iyyat) dan pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad pada hari kiamat. Keputusan ini dipaparkan tidak lebih dari satu halaman. Dalam masalah-masalah ini katanya adalah “jelas kekufurannya yang tidak satu golongan-pun dari umat Islam menganutnya.”
Adapun masalah-masalah lain yang membahas tentang sifat-sifat Ilahi, akidah tauhid dan kemestian sebab-akibat maka mereka itu lebih dekat kepada pembawa bid'ah. Penutup kitabnya : “Maka barangsiapa yang berpendapat bahwa pembawa bid'ah dari golongan Islam itu kafir maka mereka itu juga kafir dan jika mereka menahan diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya hanya terbatas pada masalah-masalah ini saja.”
Pemikiran al-Ghazali berubah setelah ia menempuh hidup sufi pada akhir hayatnya. Dalam kitab al-Munqiz ia menulis bahwa apa yang berasal dari Aristoteles itu hanya terbatas dalam tiga bagian : pertama, wajib mengkafirkannya; kedua, wajib membid'ahkannya; ketiga, tidak wajib mengingkarinya sama sekali.
LANJUT!
Kitab filsafat dalam dunia Islam bahkan Kristen di zaman pertengahan adalah Tahafutut-falasifah (484H) karya Imam al-Gazhali dan Tahafutu't-Tahafutut karya Ibn Rusydi sebagai penangkis kitab Tahafutut-falasifah yang ditulis lebih kurang seratus tahun sesudah kitab Tahafutut-falasifah. Dua kitab tersebut sangat erat kaitannya, sehingga yang satu tidak dapat disebut tanpa lainnya.
Dari segi bahasa, Tahafut berarti keguguran dan kelemahan. Orang mengatakan, tahafata'ts-tsaubu, artinya : kain jatuh dan rusak. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatu mati akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-Ghazali terhadap pemikiran mereka. Pada hakikatnya, tikaman itu mamang mematikan, mengenai inti masalah sehingga ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), kendatipun adanya upaya mati-matian dari Ibn Rusydi untuk mempertahankannya.
Saat itu Aristoteles yang dikenal dengan guru pertama dipandang sebagai tonggak (hujjah) dalam filsafat, sehingga dikatakan : kebenaran itu adalah perkataannya (Aristoteles). Karena sebab inilah, al-Ghazali memulai kitabnya dengan mengarahkan kritik tajam kepada Aristoteles. Atas kritiknya ia meminta ma'af dengan mengatakan : “Plato adalah teman dan kebenaran adalah teman, tetapi kebenaran adalah lebih meneman.”
Al-Ghazali juga menyerang kebanyakan orang Yunani yang tidak memeluk agama samawi dan karena itu orang Islam menganggap mereka kafir. Dan mengikuti pemikiran mereka juga akan menjadi kafir. Karena al-Ghazali telah mengangkat dirinya untuk memerangi kekufuran maka salah satu sebab kekufuran yang dilihatnya ialah mulai tersiarnya dalam kalangan umat Islam “nama agung yang mereka dengar, seperti: Socrates, Plato, Aritoteles dan sebagainya”.
Sebab al-Ghazali menyerang Aristoteles adalah perkataan Aristoteles bahwa alam ini kadim (tidak bermula). Dan ini adalah masalah pertama dalam dalam Tahafut yang 1/3 halaman kitabnya digunakan untuk membahas masalah ini.
Agama dan Filsafat
Kitab Tahafut melukiskan suatu isi pertentangan antara agama dan filsafat. Pertentangan ini dalam Islam telah muncul dalam berbagai wujud dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat Islam. Agama samawi didasarkan pada wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul yang ditugaskan menyampaikn risalah kepada umat manusia. Sendi akidah dalam Islam ada tiga : wujud dan keesaan Allah, mengutus para rasul dan kebangkitan ukhrawi. Tetapi al-Ghazali dalam at-Tahafut hanya menyinggung dua sendi saja, yaitu : yang pertama dan ketiga.
Adapun filsafat maka pegangan dasarnya adalah akal bukan wahyu. Terkadang sds kepercayaan kepada Tuhan dan ada juga yang tidak. Dalam kalangan filosof, ada yang beriman dan ada yang kufur yang hanya percaya kepada apa yang dapat diamati oleh indera serta dikuatkan oleh akal. Perbedaan agama dan filsafat adalah mendasar, baik metoda maupun permasalahan (mudu'). Metoda agama jelas berbeda dengan filsafat. Telah berlaku kebiasaan dalam kalangan umat Islam memperbandingkan dua metoda tersebut dengan mengatakan : mendengar dan akal (as-sam'u wa'l-aql), dinukilkan dan dipikirkan, syari'at dan hikmah dan sebagainya.
Penggabungan dua metoda tersebut telah terjadi sejak filsafat muncul dalam kehidupan umat Islam. Pertentangan antar para filosof tidak pernah berakhir sejak abad kedua sampai dengan abad ketujuh Hijriyah. Pertentangan tersebut mencapai puncaknya di akhir abad kelima dengan munculnya kitab Tahafut al-Falasifah dan merupakan permulaan kemenangan agama dan kehancuran filsafat sehingga akhirnya filsafat menghilang sama sekali dalam kehidupan budaya umat Islam karena keluarnya fatwa yang mengharamkan belajar dan mengajar ilmu tersebut.
Kitab Tahafut
Kitab ini terdiri atas empat mukaddimah, 20 masalah dan khatimah. Mukaddimah pertama ialah bahwa Aristoteles telah merupakan seorang pemuka dalam filsafat, menyimpulkan pemikiran-pemikiran para filosof dan karena itu cukup baik menyanggahnya. Kedua beberapa pemikiran filosof tidak bertentangan dengan agama karena merupakan pendapat tentang fisika seperti pembahasan tentang gerhana matahari dan bulan yang dalam dirinya tidak mengandung celaan dan pujian. Namun ada pemikiran lain yang berkaitan dengan dasar-dasar agama, seperti mengatakan alam ini kadim yang tentunya tidak boleh didiamkan. Ketiga, yang dimaksudkan dengan kitab ini menjelaskan keruntuhan (tahafut) para filosof, yaitu menyanggah pemikiran mereka. Sedangkan penjelasan tentang akidah yang benar disebutkan dalam kitab-kitab lain. Keempat, walaupun para filosof mempergunakan matematika dan logika sebagai metoda berpikir, maka itu tidaklah perlu bagi teologi, walaupun keabsahan matematika tidak dapat diingkari. Adapun logika, maka itu alat berpikir yang dipergunakan oleh para filosof seperti yang dipergunakan oleh insan lainnya. Logika itu bukanlah suatu ilmu yang terasing dalam kalangan umat Islam dan mereka menyebutnya ilmu penalaran (nazar) atau ilmu debat (jadal) atau pengetahuan akal (madarik al-'uqul).
Masalah yang duapuluh macam itu dapat dibagi sebagai berikut :
1. Hubungan Allah dengan alam. Meliputi empat masalah :
a) Kadimnya alam.
b) Keabadian alam dan zaman.
c) Allah Pencipta dan Pembuat Alam.
d) Ketidakmampuan membuktikan adanya Pembuat alam.
2. Keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya. (masalah ke-5)
3. Sifat-sifat Ilahi. (masalah ke-6 s/d ke-12)
4. Mengetahui hal-hal yang kecil “juz'iyyat”. (masalah ke-13)
5. Masalah falak dan alam. (masalah ke-14 s/d ke-16)
6. Sebab akibat. (masalah ke-17)
7. Jiwa manusia. (masalah ke-18 dan ke-19)
8. Kebangkitan jasad pada hari akhirat. (masalah ke-20)
Pada bagian khatimah, al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah : kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang kecil-kecil (juz'iyyat) dan pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad pada hari kiamat. Keputusan ini dipaparkan tidak lebih dari satu halaman. Dalam masalah-masalah ini katanya adalah “jelas kekufurannya yang tidak satu golongan-pun dari umat Islam menganutnya.”
Adapun masalah-masalah lain yang membahas tentang sifat-sifat Ilahi, akidah tauhid dan kemestian sebab-akibat maka mereka itu lebih dekat kepada pembawa bid'ah. Penutup kitabnya : “Maka barangsiapa yang berpendapat bahwa pembawa bid'ah dari golongan Islam itu kafir maka mereka itu juga kafir dan jika mereka menahan diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya hanya terbatas pada masalah-masalah ini saja.”
Pemikiran al-Ghazali berubah setelah ia menempuh hidup sufi pada akhir hayatnya. Dalam kitab al-Munqiz ia menulis bahwa apa yang berasal dari Aristoteles itu hanya terbatas dalam tiga bagian : pertama, wajib mengkafirkannya; kedua, wajib membid'ahkannya; ketiga, tidak wajib mengingkarinya sama sekali.
LANJUT!
Ketuhanan Dalam Pemikiran Ibn Sina Dan Ibn Rusydi Wujud
Jalan yang dipilih Ibn Sina bukanlah jalan para mutakalimin yang berdalil dengan alam ini terhadap adanya Allah, berdalil dengan makhluk terhadap adanya Khalik. Dalil ini, menurut Ibn Sina hanya sesuai bagi kebanyakan orang awam dan karena itu ia memilih dalil lain yang didasarkan pada perbedan wajib dan mungkin, tanpa adanya suatu pertimbangan lain selain wujud itu sendiri, Ia berdalil dengan ”kemungkinan segala yang mungkin” (imkan al-mukminat) terhadap wujud Yang Wajib (Tuhan). Pemikiran ini diuangkapkannya sebagai berikut :
Renungkan ! Betapa keterangan kami dalam menetapkan Yang Pertama (al-Awwal), keesaan-Nya dan bersih-Nya dari tanda-tanda (bara’atuhu ’ani’s-simat) tidak memerlukan renungan kepada selain wujud itu sendiri, tidak memerlukan kepada pertimbangan penciptaan dan perbuatan-Nya. Namun, hal ini lebih lebih terpercaya dan mulia, yakni bila kita melihat keadaan wujud, maka terlihatlah wujud dari segi wujudnya (min haitsu huwa wujud) dan sesudah itu ia menyaksikan (menjadi dalil) akan yang lain-lain dalam wujud ini. Kepada yang seperti ini terdapat isyarat dalam kitab Ilahi: (al-Qur’an, 41:53): ” Akan Kami pelihatkan kepada mereka tanda-tanda (wujud) Kami di ufuk dan dalam diri mereka, sehingga jelas baginya bahwa Ia adalah benar (adanya). ” Saya katakan : ”Ini adalah ketentuan (hukmun) bagi suatu golongan.” Kemuadian Ia (Allah) berkata : ”Tidakkah Tuhanmu cukup menjadi saksi (bukti) atas segala sesuatu.” Saya katakan : ”Sesungguhnya inilah ketentuan bagi orang-orang yang benar (shiddiqin) yang dengan-Nya, bukan atas-Nya, mereka berdalil (yastasyhiduna bihi la’alaihi).”
Jadi yang disukai Ibn Sina ialah dalil yang terpusat pada pembedaan wajib dan mungkin. Dalam kitab al-Najah, Ibn Sina menyatakan wajib al-wujud (yang wajib ada) adalah suatu maujud yang jika diandaikan tidak ada, maka timbulah mustahil. Sedangkan mumkin al-wujud (yang mungkin ada) ialah jika diandaikan tidak ada atau ada, maka tidak menimbulkan mustahil. Dengan kata lain, wajib al-wujud adalah yang harus adanya dan mumkin al-wujud ialah yang tidak ada keharusan baik adanya maupun tidak adanya.
Dua sifat ini : wajib an mungkin, terdapat pada sesuatu dengan hanya memandang dzat saja, tidak lainnya yang terdapat bersamanya. Jika tidak demikian maka terdapat wajib wujud pada waktu mengamati ’illat (sebab) atau syarat lain yang bukan dzat. Dalam hal ini, ia bukan Tuhan yang wajib wujud, menurut Ibn Sina dan para mutakallimin.
Sebagai contoh ia mengatakan empat adalah wajib adanya bukan karena dzat tapi pada waktu adanya dua tambah dua. Begitu pula kebakaran itu wajib adanya, bukan karena dzat tapi pada waktu adanya sentuhan api yaitu pada waktu diperkirakan pertemuan kekuatan aktif dengan kekuatan pasif pada tabiatnya masing-masing, artinya yang membakar dan yang dibakar.
Pembagian Ibn Sina akan sesuatu kepada wajib wujud dzati dan mumkin wujud dzati, yakni pembagian dualistis tidaklah berbeda dengan pembagian para mutakallimin : wajib wujud, mustahil wujud dan mumkin wujud (trilistis). Yang mustahil wujud ialah sesuatu sesuatu yang mungkin wujud dari dzatnya tetapi ada sesuatu yang membuatnya mustahil adanya dari sebab lainnya, sama saja apakah ”yang lain” itu ada atau tidak ada sebab bagi adanya. Ibn Sina menjelaskan :
Semua yang ada (maujud) jika dilihat dari sisi dzatnya bukan dari sisi lainnya maka ia wajib wujudnya pada dirinya atau tidak wajib. Jika ia wajib maka dialah yang benar dengan dzatnya, wajib wujud dari dzatnya yakni yang berdiri sendiri. Dan jika tidak wajib maka tidak boleh dikatakan bahwa ia mustahil (mumtani’) dari dzatnya, setelah diperkirakan ia ada. Malah jika ia disertai sesuatu syarat tidak ada sebabnya, jadilah ia mustahil atau seperti syarat ada sebabnya, jadilah ia wajib adanya (dengan lainnya). Dan adapun jika tidak disertai sesuatu syarat, tidak pada ada sebabnya dan tidak pada tidak adanya (sebab) maka tetaplah ia pada dzatnya hal yang ketiga, yakni kemungkinan (imkan) sehingga adalah ia, dari sisi dzatnya, sesuatu yang tidak wajib dan tidak mustahil. Jadi semua yang ada, ada kalanya wajib adanya dengan dzatnya atau mungkin adanya dengan dzatnya.
Setelah menjelaskan arti wajib dzati dan mumkin dzati, Ibn Sina menyebutkan bahwa ”sebab kebutuhan kepada Yang Wajib adlah mungkin bukan baru (huduts) yang di pahami para mutakallimin”. Dalam kitabnya Ibn Sina menetapkan bahwa yang mungkin itu perlu kepada Yang wajib dan tentunya ia sendiri menjadi wajib dengannya, karena lingkaran dan rentetan sebab (daur watasalsul) adalah mustahil akali. Juga untuk menjelaskan bahwa cara orang-orang khusus menetapkan wujud Allah adalah penalaran tentang wujud itu sendiri secara mutlak, yakni wujud wajib dzati dan wujud mumkin dzati, yang secara akali mengharuskan adanya wujud yang mula sebagai sebab bagi wujud kedua.
Jelasnya, pembagian wujud kepada 1) : ”mungkin yang bersebab ” berarti penyamaan ”ada” dan ”tidak ada”, sedangkan ”sebab” berperan sebagai penguat bagi adanya, dan jika tidak, maka ia pun tidak ada; dan kepada 2): ”tidak mungkin” yakni wajib wujud dzati. Pembagian ini tidak menjangkau wujud menurut wujudnya. Karena ”mungkin yang bersebab” dapat dibagi kepada mumkin hakiki (mungkin ada dan mungkin tiada) dan mumkin dharuri (mungkin yang mesti) yang nyata adanya. Dari itu, jika dipahami ”mungkin” sebagai mumkin hakiki, maka akan sampai kepada mumkin dharuri, tidak kepada wujud dharuri (wajib wujud dzati) yang tidak bersebab. Karena pada segenap mumkin hakiki, mustahil adanya sebab-sebab yang tidak berakhir.
Ibn Rusydi memperbaiki dalil bahwa segala yang mungkin haruslah didahului oleh sebab-sebab, dan jika sebab-sebab ini mungkin, tentunya ia perlu kepada sebab-sebab dan demikianlah seterusnya tanpa akhir. Jika demikian, maka tidak ada sebab, sehingga lazim adanya mungkin tanpa sebab. Hal ini mustahil. Dari itu, sebab-sebab itu mesti berakhir pada sebab yang mesti. Jika memang demikian, maka sebab yang mesti itu, mestinya itu karena ada sebab atau tidak bersebab. Jika ia bersebab, maka sebab itu dipertanyakan juga apakah ia akan berlalu tanpa akhir, sehingga mestilah ada sesuatu yang bersebab tidak ada sebab, dan ini mustahil. Jadi, mestilah berakhir pada sebab sharuri tanpa sebab, yakni dengan sendirinya. Inilah ia wajib wujud dan dengan demikian dalil Ibn Sina menjadi benar. Adapun apa yang dilakukan Ibn Sina tentang mumkin itu adalah tidak benar karena pembagian itu tidak mencukupi wujud seluruhnya.
Ibn Rusydi menyebutkan bahwa jalan yang dapat membawa kita kepada pengakuan adanya Allah dan juga al-Qur’an telah mengingatkannya adalah dalil ’inayah dan dalil ikhtira’. Dalil ’inayah didasarkan pada suatu kenyataan bahwa semua yang ada ini adalah sesuai dengan kebutuhan manusia karena semua itu telah dijadikan oleh Pencipta yang menghendaki hal yang demikian. Sedangkan dalil ikhtira’ didasarkan pada segala sesuatu yang dilangit dan dibumi adalah diciptakan bukan terjadi dengan sendirinya dengan bukti penyaksian kita sendiri, dan dengan dalil gerak langit sebagai indikator bahwa ia diperuntukkan untuk kita. Setiap yang dijadikan seperti itu tentunya ada Pencipta sehingga dengan dua dalil ini dapat dibuktikan bahwa alam semesta ini ada Penciptanya.
Pencipta Alam
Masalah ini telah menimbulkan perbedaan besar yang tajam antara Ibn Sina dan para pengikutnya dengan para mutakallimin yang diwakili oleh al-Ghazali dan Ibn Rusydi. Ibn Sina dan al-Farabi sebelumnya mengemukakan dua dasar :
a. Alam ini kadim dari segi zaman. Sebabnya karena keluar dari Pencipta yang kadim yang merupakan hakiki yang sedikitpun tidak berkurang dari alat-alat penciptaan. Inilah masalah kekadiman alam.
b. Yang Esa itu esa dari segala segi, tunggal tidak mengandung pluralitas apa pun. Jadi, darin-Nya hanya satu yang keluar dengan cara melimpah dan dari yang satu ini keluarlah lainnya sehingga selesailah wujud alam ini dengan segala tingkatnya. Inilah masalah emanasi (faidh).
Ibn Sina menjelaskan masalah ini dengan membatasi makna yang dimaksud dengan ”pencipta dan hubungannya dengan apa yang dibuatnya”. Manakala terdapat apa yang dibuat (maf’ul) dari pembuat atau pencipta maka kita memahami bahwa pada mulanya yang dibuat itu tidak ada lalu menjadi ada. Tetapi ”dalam ketiadaannya yang lalu”, pembuat tidak punya pengaruh apa-apa; pengaruhnya hanya pada wujud apa yang dibuat. Adapun yang dibuat disebut demikian karena wujudnya dari lainnya; ia telah ”meniada” dari zatnya dan itu bukan dari pengaruh pembuat.
Jika hal ini dipahami mka kita harus juga memahami bahwa ”pembuat’ itu lebih membuat, sempurna kudrah dan fi’ilnya jika kita sadari bahwa wujud apa yang dibuat tidak pernah mengalami ”ketiadaan” sebelumnya yang merupakan wataknya. Karena yang selalu berbuat adalah lebih sempurna hal perbuatan (fa’iliyyah) dan pengaruh dari pada pembuat lain yang berbuat hanya sewaktu-waktu saja. Bahwa wujud yang berkesinambungan dalam zaman dan yang menetap pada apa yang dibuat sebagai bekas atau buatan dari pembuat adalah lebih kuat bukti kesempurnaan pembuat daripada wujud yang tidak berkesinambungan yakni yang didahului oleh ”tiada”.
Allah menjadikan alam ini dalam keadaan ”ada” bukan dalam keadaan ”tiada” karena tiada itu tidak ada hubungannya dengan pembuat yang membuat. Ibn sina menjelaskan hal ini sebagai berikut :
Yang dibuat (maf’ul) yang kita katakan pembuat yang membuatnya, tidak terlepas dari sifat bahwa ia diciptakan atau ditentukan wujudnya dalam keadaan tiada atau dalam keadaan keduanya. Diketahui bahwa ia tidak diciptakan dalam keadaan tiada maka tentunya tidak diciptakan dalam keadaan keduanya (ada dan tiada). Jadi, tinggalah ia diciptakan dalam keadaan ada.
Segala yang ada dari Allah adalah merupakan kemestian dan akibat dari wujud-Nya. Tidak ada sesuatu yang dijadikan Allah untuk sesuatu selain-Nya. Jadi Ia adalah ”Pembuat Semesta” (al-kull), artinya Dialah yang ada yang darinya melimpah segala sesuatu secara sempurna, berbeda dengan zat-Nya; dan bahwa segala hal yang melimpah dari Yang Pertama (awwal) hanya dengan jalan kemestian (luzum).
Namun, ini tidak boleh dipahami bahwa alam yang melimpah dari Allah itu terjadi dengan sendirinya (tabiat), tanpa kehendak-Nya sehingga dengan itu Ia adalah Tuhan yang terpaksa berbuat sesuatu tanpa kehendak dan pilihan. Ibn Sina sangat berkeinginan untuk menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, karena ia menyadari benar-benar tentang adanya ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan iradah dan ikhtiar bagi Allah, lebih-lebih lagi tidak ada kemungkinan terpikir adanya Tuhan yang tidak ada memiliki sifat-sifat tersebut. Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
Dan bukanlah kejadian alam semesta dari-Nya dengan cara tabi'at, (yakni) bahwa semua terjadi dari-Nya tanpa makrifah dan rela-Nya. Betapa hal ini benar, sedangkan Ia akal semata yang memikir zat-Nya. Maka Ia wajib berpikir bahwa alam semesta ini harus terjadi dari-Nya, karena Ia berpikir tentang zat-Nya hanya sebagai akal semesta prinsip pertama. Dan Ia hanya mengetahui wujud alam semesta dari-Nya sebagai prinsipnya dan tidak pada zat-Nya sesuatu larangan atau paksaan bagi keluar alam semesta dari-Nya. Dan zat-Nya mengetahui kesempurnaan dan ketinggian kesempurnaan dan ketinggian-Nya sehingga melimpah kebaikan dari-Nya dan itu dari kemestian keagungan-Nya yang diasyiki oleh-Nya karena zat-Nya.
Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa alam ini haruslah kadim, seperti sebabnya (Allah) dan ia menyertai wujud-Nya sejak azali dan abadi. Alam ini tidak mungkin baru, sehingga tidak terjadi sesuatu perubahan pada zat Allah. Maha suci Allah dari sesuatu perubahan dan kemungkinan. Kesempurnaan Allah dalam perbuatan-Nya, sejak azali dan abadi hanya terwujud jika kita mengatakan bahwa alam ini kadim.
Jadi alam ini kadim dan ia melimpah dari Allah, menurut Ibn Sina adlah sesuai dengan ajaran agama yang telah menetapkan kesempurnaan bagi Allah. Dan kesempurnaan itu sudah pasti akan ada jika kita mengatakan Allah adalah Pembuat (Pencipta) sejak azali dan senantiasa berbuat pada setiap saat tidak hanya pada saat tertentu saja.
Perbedaan besar antara Allah dengan alam ini, walaupun alam itu sendiri kadim wujudnya adalah terletak pada sebab (Allah) yang membuat alam ini berwujud. Alam ini kadim zamani, wujudnya bersamaan dengan wujud Allah. Adapun dari segi zat alam ini baru karena wujudnya dari wujud sebabnya (Allah). Sedangkan Allah adalah kadim dzati. Ia sebab bagi semua yang ada dan Pencipta alam semesta. Dengan demikian alam ini baru dan kadim : baru dari segi dzat (huduts dzati) dan kadim dari segi zaman (qidam zamani). Perbedaan istilah ini timbul dari segi mana kita memandang.
Teori ini telah mengundang kritik tajam dari Imam al-Ghazali. Menurut al-Ghazali teori Ibn Sina tersebut sesat dan salah karena dapat menggiring orang untuk mengatakan alam ini kadim (tidak bermula) serta menfikan iradah dan ikhtiar Allah, Jika alam ini melimpah dari Allah sebagai sesuatu keharusan yang mesti sejak azali maka ini berarti wujud alam adalah akibat dari wujud Allah sehingga keduanya sejenis dan serupa dalam wujud yang kadim. Ini berarti mustahil alam ini terjadi sebagai ciptaan dan makhluk Allah.
Ibn Rusydi menyadari bahwa kritik al-Ghazali adalah kuat dan benar. Namun ia juga merasa bahwa al-Ghazali juga seperti Ibn Sina, telah memahami teori tersebut yaitu “dari Yang Esa hanya satu yang melimpah”. Ia berupaya untuk menjelaskan bagaimana seharusnya teori itu dipahami. Sesungguhnya, katanya : ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Allah) dengan pembuat yang nyata (manusia). Jika orang berpegang teguh pada perbedaan ini maka akan jelaslah pendapat yang benar dalam masalah ciptaan atau keluarnya alam dari Allah tanpa perlu adanya perantara dari siapapun.
Menurut Ibn Sina, hanya satu yang melimpah yakni akal pertama dan darinya melimpah akal kedua, jiwa dan jisim falak tertinggi yakni langit kesembilan. Kemudian dari akal kedua melimpah tiga makhluk lain : akal ketiga, jiwa dan jisim falak lain. Demikianlah seterusnya hingga limpahan itu sampai ke akal kesepuluh (akal aktif) yang bertanggungjawab terhadap alam anasir atau alam bumi. Ibn Sina mengatakan hal tersebut untuk menjelaskan sebab adanya keragaman dari Allah Yang Esa lagi tunggal dari segala sisi.
Al-Ghazali melancarkan kritiknya dengan mengatakan bahwa :
“Bahwa yang anda sebutkan itu hanyalah rekaan-rekaan (tahakkumat) dan ia sebenarnya kegelapan atas kegelapan. Sekiranya itu diceritakan oleh orang dari apa yang dilihat dalam mimpinya, maka itu adalah dalil bahwa temparemennya telah rusak”.
LANJUT!
Renungkan ! Betapa keterangan kami dalam menetapkan Yang Pertama (al-Awwal), keesaan-Nya dan bersih-Nya dari tanda-tanda (bara’atuhu ’ani’s-simat) tidak memerlukan renungan kepada selain wujud itu sendiri, tidak memerlukan kepada pertimbangan penciptaan dan perbuatan-Nya. Namun, hal ini lebih lebih terpercaya dan mulia, yakni bila kita melihat keadaan wujud, maka terlihatlah wujud dari segi wujudnya (min haitsu huwa wujud) dan sesudah itu ia menyaksikan (menjadi dalil) akan yang lain-lain dalam wujud ini. Kepada yang seperti ini terdapat isyarat dalam kitab Ilahi: (al-Qur’an, 41:53): ” Akan Kami pelihatkan kepada mereka tanda-tanda (wujud) Kami di ufuk dan dalam diri mereka, sehingga jelas baginya bahwa Ia adalah benar (adanya). ” Saya katakan : ”Ini adalah ketentuan (hukmun) bagi suatu golongan.” Kemuadian Ia (Allah) berkata : ”Tidakkah Tuhanmu cukup menjadi saksi (bukti) atas segala sesuatu.” Saya katakan : ”Sesungguhnya inilah ketentuan bagi orang-orang yang benar (shiddiqin) yang dengan-Nya, bukan atas-Nya, mereka berdalil (yastasyhiduna bihi la’alaihi).”
Jadi yang disukai Ibn Sina ialah dalil yang terpusat pada pembedaan wajib dan mungkin. Dalam kitab al-Najah, Ibn Sina menyatakan wajib al-wujud (yang wajib ada) adalah suatu maujud yang jika diandaikan tidak ada, maka timbulah mustahil. Sedangkan mumkin al-wujud (yang mungkin ada) ialah jika diandaikan tidak ada atau ada, maka tidak menimbulkan mustahil. Dengan kata lain, wajib al-wujud adalah yang harus adanya dan mumkin al-wujud ialah yang tidak ada keharusan baik adanya maupun tidak adanya.
Dua sifat ini : wajib an mungkin, terdapat pada sesuatu dengan hanya memandang dzat saja, tidak lainnya yang terdapat bersamanya. Jika tidak demikian maka terdapat wajib wujud pada waktu mengamati ’illat (sebab) atau syarat lain yang bukan dzat. Dalam hal ini, ia bukan Tuhan yang wajib wujud, menurut Ibn Sina dan para mutakallimin.
Sebagai contoh ia mengatakan empat adalah wajib adanya bukan karena dzat tapi pada waktu adanya dua tambah dua. Begitu pula kebakaran itu wajib adanya, bukan karena dzat tapi pada waktu adanya sentuhan api yaitu pada waktu diperkirakan pertemuan kekuatan aktif dengan kekuatan pasif pada tabiatnya masing-masing, artinya yang membakar dan yang dibakar.
Pembagian Ibn Sina akan sesuatu kepada wajib wujud dzati dan mumkin wujud dzati, yakni pembagian dualistis tidaklah berbeda dengan pembagian para mutakallimin : wajib wujud, mustahil wujud dan mumkin wujud (trilistis). Yang mustahil wujud ialah sesuatu sesuatu yang mungkin wujud dari dzatnya tetapi ada sesuatu yang membuatnya mustahil adanya dari sebab lainnya, sama saja apakah ”yang lain” itu ada atau tidak ada sebab bagi adanya. Ibn Sina menjelaskan :
Semua yang ada (maujud) jika dilihat dari sisi dzatnya bukan dari sisi lainnya maka ia wajib wujudnya pada dirinya atau tidak wajib. Jika ia wajib maka dialah yang benar dengan dzatnya, wajib wujud dari dzatnya yakni yang berdiri sendiri. Dan jika tidak wajib maka tidak boleh dikatakan bahwa ia mustahil (mumtani’) dari dzatnya, setelah diperkirakan ia ada. Malah jika ia disertai sesuatu syarat tidak ada sebabnya, jadilah ia mustahil atau seperti syarat ada sebabnya, jadilah ia wajib adanya (dengan lainnya). Dan adapun jika tidak disertai sesuatu syarat, tidak pada ada sebabnya dan tidak pada tidak adanya (sebab) maka tetaplah ia pada dzatnya hal yang ketiga, yakni kemungkinan (imkan) sehingga adalah ia, dari sisi dzatnya, sesuatu yang tidak wajib dan tidak mustahil. Jadi semua yang ada, ada kalanya wajib adanya dengan dzatnya atau mungkin adanya dengan dzatnya.
Setelah menjelaskan arti wajib dzati dan mumkin dzati, Ibn Sina menyebutkan bahwa ”sebab kebutuhan kepada Yang Wajib adlah mungkin bukan baru (huduts) yang di pahami para mutakallimin”. Dalam kitabnya Ibn Sina menetapkan bahwa yang mungkin itu perlu kepada Yang wajib dan tentunya ia sendiri menjadi wajib dengannya, karena lingkaran dan rentetan sebab (daur watasalsul) adalah mustahil akali. Juga untuk menjelaskan bahwa cara orang-orang khusus menetapkan wujud Allah adalah penalaran tentang wujud itu sendiri secara mutlak, yakni wujud wajib dzati dan wujud mumkin dzati, yang secara akali mengharuskan adanya wujud yang mula sebagai sebab bagi wujud kedua.
Jelasnya, pembagian wujud kepada 1) : ”mungkin yang bersebab ” berarti penyamaan ”ada” dan ”tidak ada”, sedangkan ”sebab” berperan sebagai penguat bagi adanya, dan jika tidak, maka ia pun tidak ada; dan kepada 2): ”tidak mungkin” yakni wajib wujud dzati. Pembagian ini tidak menjangkau wujud menurut wujudnya. Karena ”mungkin yang bersebab” dapat dibagi kepada mumkin hakiki (mungkin ada dan mungkin tiada) dan mumkin dharuri (mungkin yang mesti) yang nyata adanya. Dari itu, jika dipahami ”mungkin” sebagai mumkin hakiki, maka akan sampai kepada mumkin dharuri, tidak kepada wujud dharuri (wajib wujud dzati) yang tidak bersebab. Karena pada segenap mumkin hakiki, mustahil adanya sebab-sebab yang tidak berakhir.
Ibn Rusydi memperbaiki dalil bahwa segala yang mungkin haruslah didahului oleh sebab-sebab, dan jika sebab-sebab ini mungkin, tentunya ia perlu kepada sebab-sebab dan demikianlah seterusnya tanpa akhir. Jika demikian, maka tidak ada sebab, sehingga lazim adanya mungkin tanpa sebab. Hal ini mustahil. Dari itu, sebab-sebab itu mesti berakhir pada sebab yang mesti. Jika memang demikian, maka sebab yang mesti itu, mestinya itu karena ada sebab atau tidak bersebab. Jika ia bersebab, maka sebab itu dipertanyakan juga apakah ia akan berlalu tanpa akhir, sehingga mestilah ada sesuatu yang bersebab tidak ada sebab, dan ini mustahil. Jadi, mestilah berakhir pada sebab sharuri tanpa sebab, yakni dengan sendirinya. Inilah ia wajib wujud dan dengan demikian dalil Ibn Sina menjadi benar. Adapun apa yang dilakukan Ibn Sina tentang mumkin itu adalah tidak benar karena pembagian itu tidak mencukupi wujud seluruhnya.
Ibn Rusydi menyebutkan bahwa jalan yang dapat membawa kita kepada pengakuan adanya Allah dan juga al-Qur’an telah mengingatkannya adalah dalil ’inayah dan dalil ikhtira’. Dalil ’inayah didasarkan pada suatu kenyataan bahwa semua yang ada ini adalah sesuai dengan kebutuhan manusia karena semua itu telah dijadikan oleh Pencipta yang menghendaki hal yang demikian. Sedangkan dalil ikhtira’ didasarkan pada segala sesuatu yang dilangit dan dibumi adalah diciptakan bukan terjadi dengan sendirinya dengan bukti penyaksian kita sendiri, dan dengan dalil gerak langit sebagai indikator bahwa ia diperuntukkan untuk kita. Setiap yang dijadikan seperti itu tentunya ada Pencipta sehingga dengan dua dalil ini dapat dibuktikan bahwa alam semesta ini ada Penciptanya.
Pencipta Alam
Masalah ini telah menimbulkan perbedaan besar yang tajam antara Ibn Sina dan para pengikutnya dengan para mutakallimin yang diwakili oleh al-Ghazali dan Ibn Rusydi. Ibn Sina dan al-Farabi sebelumnya mengemukakan dua dasar :
a. Alam ini kadim dari segi zaman. Sebabnya karena keluar dari Pencipta yang kadim yang merupakan hakiki yang sedikitpun tidak berkurang dari alat-alat penciptaan. Inilah masalah kekadiman alam.
b. Yang Esa itu esa dari segala segi, tunggal tidak mengandung pluralitas apa pun. Jadi, darin-Nya hanya satu yang keluar dengan cara melimpah dan dari yang satu ini keluarlah lainnya sehingga selesailah wujud alam ini dengan segala tingkatnya. Inilah masalah emanasi (faidh).
Ibn Sina menjelaskan masalah ini dengan membatasi makna yang dimaksud dengan ”pencipta dan hubungannya dengan apa yang dibuatnya”. Manakala terdapat apa yang dibuat (maf’ul) dari pembuat atau pencipta maka kita memahami bahwa pada mulanya yang dibuat itu tidak ada lalu menjadi ada. Tetapi ”dalam ketiadaannya yang lalu”, pembuat tidak punya pengaruh apa-apa; pengaruhnya hanya pada wujud apa yang dibuat. Adapun yang dibuat disebut demikian karena wujudnya dari lainnya; ia telah ”meniada” dari zatnya dan itu bukan dari pengaruh pembuat.
Jika hal ini dipahami mka kita harus juga memahami bahwa ”pembuat’ itu lebih membuat, sempurna kudrah dan fi’ilnya jika kita sadari bahwa wujud apa yang dibuat tidak pernah mengalami ”ketiadaan” sebelumnya yang merupakan wataknya. Karena yang selalu berbuat adalah lebih sempurna hal perbuatan (fa’iliyyah) dan pengaruh dari pada pembuat lain yang berbuat hanya sewaktu-waktu saja. Bahwa wujud yang berkesinambungan dalam zaman dan yang menetap pada apa yang dibuat sebagai bekas atau buatan dari pembuat adalah lebih kuat bukti kesempurnaan pembuat daripada wujud yang tidak berkesinambungan yakni yang didahului oleh ”tiada”.
Allah menjadikan alam ini dalam keadaan ”ada” bukan dalam keadaan ”tiada” karena tiada itu tidak ada hubungannya dengan pembuat yang membuat. Ibn sina menjelaskan hal ini sebagai berikut :
Yang dibuat (maf’ul) yang kita katakan pembuat yang membuatnya, tidak terlepas dari sifat bahwa ia diciptakan atau ditentukan wujudnya dalam keadaan tiada atau dalam keadaan keduanya. Diketahui bahwa ia tidak diciptakan dalam keadaan tiada maka tentunya tidak diciptakan dalam keadaan keduanya (ada dan tiada). Jadi, tinggalah ia diciptakan dalam keadaan ada.
Segala yang ada dari Allah adalah merupakan kemestian dan akibat dari wujud-Nya. Tidak ada sesuatu yang dijadikan Allah untuk sesuatu selain-Nya. Jadi Ia adalah ”Pembuat Semesta” (al-kull), artinya Dialah yang ada yang darinya melimpah segala sesuatu secara sempurna, berbeda dengan zat-Nya; dan bahwa segala hal yang melimpah dari Yang Pertama (awwal) hanya dengan jalan kemestian (luzum).
Namun, ini tidak boleh dipahami bahwa alam yang melimpah dari Allah itu terjadi dengan sendirinya (tabiat), tanpa kehendak-Nya sehingga dengan itu Ia adalah Tuhan yang terpaksa berbuat sesuatu tanpa kehendak dan pilihan. Ibn Sina sangat berkeinginan untuk menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, karena ia menyadari benar-benar tentang adanya ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan iradah dan ikhtiar bagi Allah, lebih-lebih lagi tidak ada kemungkinan terpikir adanya Tuhan yang tidak ada memiliki sifat-sifat tersebut. Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
Dan bukanlah kejadian alam semesta dari-Nya dengan cara tabi'at, (yakni) bahwa semua terjadi dari-Nya tanpa makrifah dan rela-Nya. Betapa hal ini benar, sedangkan Ia akal semata yang memikir zat-Nya. Maka Ia wajib berpikir bahwa alam semesta ini harus terjadi dari-Nya, karena Ia berpikir tentang zat-Nya hanya sebagai akal semesta prinsip pertama. Dan Ia hanya mengetahui wujud alam semesta dari-Nya sebagai prinsipnya dan tidak pada zat-Nya sesuatu larangan atau paksaan bagi keluar alam semesta dari-Nya. Dan zat-Nya mengetahui kesempurnaan dan ketinggian kesempurnaan dan ketinggian-Nya sehingga melimpah kebaikan dari-Nya dan itu dari kemestian keagungan-Nya yang diasyiki oleh-Nya karena zat-Nya.
Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa alam ini haruslah kadim, seperti sebabnya (Allah) dan ia menyertai wujud-Nya sejak azali dan abadi. Alam ini tidak mungkin baru, sehingga tidak terjadi sesuatu perubahan pada zat Allah. Maha suci Allah dari sesuatu perubahan dan kemungkinan. Kesempurnaan Allah dalam perbuatan-Nya, sejak azali dan abadi hanya terwujud jika kita mengatakan bahwa alam ini kadim.
Jadi alam ini kadim dan ia melimpah dari Allah, menurut Ibn Sina adlah sesuai dengan ajaran agama yang telah menetapkan kesempurnaan bagi Allah. Dan kesempurnaan itu sudah pasti akan ada jika kita mengatakan Allah adalah Pembuat (Pencipta) sejak azali dan senantiasa berbuat pada setiap saat tidak hanya pada saat tertentu saja.
Perbedaan besar antara Allah dengan alam ini, walaupun alam itu sendiri kadim wujudnya adalah terletak pada sebab (Allah) yang membuat alam ini berwujud. Alam ini kadim zamani, wujudnya bersamaan dengan wujud Allah. Adapun dari segi zat alam ini baru karena wujudnya dari wujud sebabnya (Allah). Sedangkan Allah adalah kadim dzati. Ia sebab bagi semua yang ada dan Pencipta alam semesta. Dengan demikian alam ini baru dan kadim : baru dari segi dzat (huduts dzati) dan kadim dari segi zaman (qidam zamani). Perbedaan istilah ini timbul dari segi mana kita memandang.
Teori ini telah mengundang kritik tajam dari Imam al-Ghazali. Menurut al-Ghazali teori Ibn Sina tersebut sesat dan salah karena dapat menggiring orang untuk mengatakan alam ini kadim (tidak bermula) serta menfikan iradah dan ikhtiar Allah, Jika alam ini melimpah dari Allah sebagai sesuatu keharusan yang mesti sejak azali maka ini berarti wujud alam adalah akibat dari wujud Allah sehingga keduanya sejenis dan serupa dalam wujud yang kadim. Ini berarti mustahil alam ini terjadi sebagai ciptaan dan makhluk Allah.
Ibn Rusydi menyadari bahwa kritik al-Ghazali adalah kuat dan benar. Namun ia juga merasa bahwa al-Ghazali juga seperti Ibn Sina, telah memahami teori tersebut yaitu “dari Yang Esa hanya satu yang melimpah”. Ia berupaya untuk menjelaskan bagaimana seharusnya teori itu dipahami. Sesungguhnya, katanya : ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Allah) dengan pembuat yang nyata (manusia). Jika orang berpegang teguh pada perbedaan ini maka akan jelaslah pendapat yang benar dalam masalah ciptaan atau keluarnya alam dari Allah tanpa perlu adanya perantara dari siapapun.
Menurut Ibn Sina, hanya satu yang melimpah yakni akal pertama dan darinya melimpah akal kedua, jiwa dan jisim falak tertinggi yakni langit kesembilan. Kemudian dari akal kedua melimpah tiga makhluk lain : akal ketiga, jiwa dan jisim falak lain. Demikianlah seterusnya hingga limpahan itu sampai ke akal kesepuluh (akal aktif) yang bertanggungjawab terhadap alam anasir atau alam bumi. Ibn Sina mengatakan hal tersebut untuk menjelaskan sebab adanya keragaman dari Allah Yang Esa lagi tunggal dari segala sisi.
Al-Ghazali melancarkan kritiknya dengan mengatakan bahwa :
“Bahwa yang anda sebutkan itu hanyalah rekaan-rekaan (tahakkumat) dan ia sebenarnya kegelapan atas kegelapan. Sekiranya itu diceritakan oleh orang dari apa yang dilihat dalam mimpinya, maka itu adalah dalil bahwa temparemennya telah rusak”.
LANJUT!
Tafsir Surah Al-Muddatstsir Ayat 7
AYAT 7
“Dan untuk (memenuhi Perintah) ” Tuhan-mu, bersabarlah !”
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Ini adalah pesan yang disebutkan berulang-ulang setiap kali memberikan tugas dakwah atau memantapkannya. Dan kesabaran merupakan bekal pokok didalam perjuangan yang berat ini. Perjuangan dakwah ke jalan Allah.
Tafsir Ibnu Katsir. Firman Firman Allah Ta’ala, “ Dan kepada Tuhanmu, bersabarlah.” Maksudnya, jadikanlah kesabaranmu menerima cercaan mereka itu karena mengharapkan keridhloan Allah semata.
Tafsir al-Mishbah. Ayat ini menekankan kesabaran secara khusus, yaitu kesabaran dalam menghadapi gangguan-gangguan mereka yang tidak mempercayai ajaran agama yang dibawakan oleh Rasulullah Saw. Namun penulis tafsir ini cenderung bahwa perintah
bersabar ini bermakna dalam arti yang luas. Sebagaimana perintah bersabar dalam al-Qur’an ditemukan dalam berbagai konteks antara lain :
a. Menanti ketetapan Allah. QS Yunus :109
b. Menanti datangnya janji Allah atau hari kemenangan. QS ar-Rum:60.
c. Menghadapi ejekan dan gangguan orang-orang yang tidak percaya. QS Thaha:130
d. Menghadapi dorongan nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal. QS an-Nahl : 127
e. Melaksanakan Ibadah. QS Maryam : 65
f. Menghadapi malapetaka. QS Luqman : 17
g. Memperoleh apa-apa yang diinginkan. QS al-Baqarah :153
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : CV. Diponegoro
Departemen Dakwah DPP Hidayatullah. 2005. Panduan Dakwah, Menyemai Generasi Qur’ani Merujuk Tahapan Turunnya al-Qur’an.
Hidayatulah
Thohari, Hamim dkk. 2001. Panduan Berislam, Paket Dakwah. DPP Hidayatullah
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir al-Mishbah, Volume 14. Jakarta : Lentera Hati
Ar-Rifa’I, M. Nasib. 2000. Terjemah Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4. Jakarta : Gema Insani
Quthb, Sayyid. 1992. Terjemah Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta : Gema Insani
LANJUT!
“Dan untuk (memenuhi Perintah) ” Tuhan-mu, bersabarlah !”
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Ini adalah pesan yang disebutkan berulang-ulang setiap kali memberikan tugas dakwah atau memantapkannya. Dan kesabaran merupakan bekal pokok didalam perjuangan yang berat ini. Perjuangan dakwah ke jalan Allah.
Tafsir Ibnu Katsir. Firman Firman Allah Ta’ala, “ Dan kepada Tuhanmu, bersabarlah.” Maksudnya, jadikanlah kesabaranmu menerima cercaan mereka itu karena mengharapkan keridhloan Allah semata.
Tafsir al-Mishbah. Ayat ini menekankan kesabaran secara khusus, yaitu kesabaran dalam menghadapi gangguan-gangguan mereka yang tidak mempercayai ajaran agama yang dibawakan oleh Rasulullah Saw. Namun penulis tafsir ini cenderung bahwa perintah
bersabar ini bermakna dalam arti yang luas. Sebagaimana perintah bersabar dalam al-Qur’an ditemukan dalam berbagai konteks antara lain :
a. Menanti ketetapan Allah. QS Yunus :109
b. Menanti datangnya janji Allah atau hari kemenangan. QS ar-Rum:60.
c. Menghadapi ejekan dan gangguan orang-orang yang tidak percaya. QS Thaha:130
d. Menghadapi dorongan nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal. QS an-Nahl : 127
e. Melaksanakan Ibadah. QS Maryam : 65
f. Menghadapi malapetaka. QS Luqman : 17
g. Memperoleh apa-apa yang diinginkan. QS al-Baqarah :153
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : CV. Diponegoro
Departemen Dakwah DPP Hidayatullah. 2005. Panduan Dakwah, Menyemai Generasi Qur’ani Merujuk Tahapan Turunnya al-Qur’an.
Hidayatulah
Thohari, Hamim dkk. 2001. Panduan Berislam, Paket Dakwah. DPP Hidayatullah
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir al-Mishbah, Volume 14. Jakarta : Lentera Hati
Ar-Rifa’I, M. Nasib. 2000. Terjemah Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4. Jakarta : Gema Insani
Quthb, Sayyid. 1992. Terjemah Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta : Gema Insani
LANJUT!
Tafsir Surah Al-Muddatstsir Ayat 6
AYAT 6
“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Rasulullah Saw diarahkan untuk melupakan dirinya dan tidak mengungkit-ungkit usaha dan perjuangan yang telah dilakukan atau menganggapnya banyak dan besar karena semua itu adalah karunia dari Allah Swt. Sehingga agar tidak
mengungkit-ungkit agar tetap selalu bersyukur kepada Allah.
Tafsir Ibnu Katsir. Yaitu, janganlah kamu memberikan sumbangan, sedangkan dibalik itu kamu mengharapkan balasan yang lebih banyak.
Tafsir al-Mishbah. Jangan menganggap usahamu (berdakwah) sebagai anugerah kepada manusia, karena dengan demikian engkau akan memperoleh yang banyak. Perolehan yang banyak bukan bersumber dari manusia, tetapi berupa ganjaran dari Allah. Konsekuensi
dari larangan ini adalah bahwa Rasulullah Saw tidak dibenarkan menuntut upah dari usaha-usaha beliau dalam berdakwah.
Sehingga ayat ini meletakan tanggung jawab diatas pundak Rasulullah Saw guna menyampaikan dakwahnya tanpa pamrih atau tidak menuntut suatu imbalan duniawi. Hal tersebut sejalan dengan surat al-Furqan ayat 57, “Aku tidak meminta kepada kamu atasnya sedikitpun upah, kecuali siapa yang mau kepada Tuhannya mengambil jalan”
Tafsir al-Qurthubi. Menafsirkan ayat tersebut dalam berbagai pendapat :
a. Dan janganlah kamu memberi untuk mengambil lebih banyak harta.
b. Dan janganlah kamu mengerjakan kebaikan agar dilihat manusia.
c. Dan jangan kamu mengerjakan ketaatan untuk mencari upahnya, tetapi sabarlah hingga Allah yang memeberi pahalanya.
d. Janganlah kamu katakan : Aku telah berdakwah tetapi dia tidak menyambutku.
e. Jangan kamu membesarkan amalmu dalam pandanganmu untuk meminta balasan lebih banyak dari kebaikan. Sesungguhnya hal itu merupakan kenikmatan Allah.
LANJUT!
“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Rasulullah Saw diarahkan untuk melupakan dirinya dan tidak mengungkit-ungkit usaha dan perjuangan yang telah dilakukan atau menganggapnya banyak dan besar karena semua itu adalah karunia dari Allah Swt. Sehingga agar tidak
mengungkit-ungkit agar tetap selalu bersyukur kepada Allah.
Tafsir Ibnu Katsir. Yaitu, janganlah kamu memberikan sumbangan, sedangkan dibalik itu kamu mengharapkan balasan yang lebih banyak.
Tafsir al-Mishbah. Jangan menganggap usahamu (berdakwah) sebagai anugerah kepada manusia, karena dengan demikian engkau akan memperoleh yang banyak. Perolehan yang banyak bukan bersumber dari manusia, tetapi berupa ganjaran dari Allah. Konsekuensi
dari larangan ini adalah bahwa Rasulullah Saw tidak dibenarkan menuntut upah dari usaha-usaha beliau dalam berdakwah.
Sehingga ayat ini meletakan tanggung jawab diatas pundak Rasulullah Saw guna menyampaikan dakwahnya tanpa pamrih atau tidak menuntut suatu imbalan duniawi. Hal tersebut sejalan dengan surat al-Furqan ayat 57, “Aku tidak meminta kepada kamu atasnya sedikitpun upah, kecuali siapa yang mau kepada Tuhannya mengambil jalan”
Tafsir al-Qurthubi. Menafsirkan ayat tersebut dalam berbagai pendapat :
a. Dan janganlah kamu memberi untuk mengambil lebih banyak harta.
b. Dan janganlah kamu mengerjakan kebaikan agar dilihat manusia.
c. Dan jangan kamu mengerjakan ketaatan untuk mencari upahnya, tetapi sabarlah hingga Allah yang memeberi pahalanya.
d. Janganlah kamu katakan : Aku telah berdakwah tetapi dia tidak menyambutku.
e. Jangan kamu membesarkan amalmu dalam pandanganmu untuk meminta balasan lebih banyak dari kebaikan. Sesungguhnya hal itu merupakan kenikmatan Allah.
LANJUT!
Tafsir Surah Al-Muddatstsir Ayat 5
AYAT 5
“Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanah !”
Tafsir Ibnu Katsir. “Dan perbuatan dosa tingalkanlah.” Yaitu tinggalkan perbuatan maksiat. Walaupun begitu, hal ini tidak menunjukkan bahwa sebelumnya nabi Saw selalu mengerjakan kemaksiatan. Hal ini senada dengan firman Allah Swt, “ Wahai Nabi,
Takwalah kamu kepada Allah dan janganlah kamu menaati orang-orang kafir dan munafik.”
Allah ta’ala berfirman, “ Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” Yaitu, janganlah kamu memberikan sumbangan, sedangkan dibalik itu kamu mengharapkan balasan yang lebih banyak. Penafsiran ini dikatakan oleh Ibnu Abbas dan beberapa orang tabi’in.
Tafsir al-Mishbah. Kata ar-rujz memiliki arti jamak yaitu berhala, siksa dan dosa. Namun penulis tafsir tersebut lebih cenderung mengarikannya dengan makna berhala, sehingga menafsirkan ayat ini dengan arti “dan dosa yakni menyembah berhala betapapun hebat atau banyaknya orang yang menyembahnya maka tinggalkanlah !” Hal tersebut dikaitkan dengan surat al-Hajj ayat 30, fa ijtanibuu ar-rijsa min al-autsaan (maka hindarilah berhala-berhala yang najis).
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Rasulullah Saw diarahkan untuk meninggalkan kemusyrikan dan segala sesuatu yang dapat mendatangkan azab. Selain itu ayat ini juga memberikan garis pemisah dan menyatakan keberbedaan yang tak kenal damai dan kompromi antara
Islam dan Jahiliyah.
LANJUT!
“Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanah !”
Tafsir Ibnu Katsir. “Dan perbuatan dosa tingalkanlah.” Yaitu tinggalkan perbuatan maksiat. Walaupun begitu, hal ini tidak menunjukkan bahwa sebelumnya nabi Saw selalu mengerjakan kemaksiatan. Hal ini senada dengan firman Allah Swt, “ Wahai Nabi,
Takwalah kamu kepada Allah dan janganlah kamu menaati orang-orang kafir dan munafik.”
Allah ta’ala berfirman, “ Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” Yaitu, janganlah kamu memberikan sumbangan, sedangkan dibalik itu kamu mengharapkan balasan yang lebih banyak. Penafsiran ini dikatakan oleh Ibnu Abbas dan beberapa orang tabi’in.
Tafsir al-Mishbah. Kata ar-rujz memiliki arti jamak yaitu berhala, siksa dan dosa. Namun penulis tafsir tersebut lebih cenderung mengarikannya dengan makna berhala, sehingga menafsirkan ayat ini dengan arti “dan dosa yakni menyembah berhala betapapun hebat atau banyaknya orang yang menyembahnya maka tinggalkanlah !” Hal tersebut dikaitkan dengan surat al-Hajj ayat 30, fa ijtanibuu ar-rijsa min al-autsaan (maka hindarilah berhala-berhala yang najis).
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Rasulullah Saw diarahkan untuk meninggalkan kemusyrikan dan segala sesuatu yang dapat mendatangkan azab. Selain itu ayat ini juga memberikan garis pemisah dan menyatakan keberbedaan yang tak kenal damai dan kompromi antara
Islam dan Jahiliyah.
LANJUT!
Tafsir Surah Al-Muddatstsir Ayat 4
AYAT 4
“Dan pakaianmu bersihkanlah !”
Tafsir Ibnu Katsir. Ada yang mengatakan, bersihkanlah dari dosa dan kemaksiatan. Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud adalah membersihkan kalbu. Diakatakan pula, cucilah pakaianmu dengan air, karena orang-orang musyrik itu dahulu tidak pernah bersuci, maka Allah memerintahkan beliau untuk bersuci dan membersihkan pakaiannya. Pendapat inilah yang menjadi pegangan ibnu Jarir. Namun, ayat ini mencakup semua penafsiran diatas, karena orang-orang Arab sering mengatakan hati dengan pakaian.
Tafsir Jalalain. “Dan pakaianmu sucikanlah dari najis”
Tafsir al-Qurthubi. Dalam menafsirkan ayat tersebut terdapat dalam delapan pendapat. Hal itu dikaitkan dengan maksud makna tsiyab yaitu amal, hati, nafs, jasad, keluarga, akhlak, addiin, dan pakaian zahir. Dalam buku “Panduan Berislam : Buku 4.
Paket Dakwah” yang diterbitkan DPP Hidayatullah pada tahun 2001 di halaman 54 disebtkan makna ta’wil ayat tersebut berdasar pengertian tsiyab adalah :
a. Dan amalmu perbaikilah (pendapat Mujahid dan Ibnu Zaid).
b. Dan hatimu sucikanlah. Mawardi berkata, suci dari dosa dan maksiat serta khianat.
c. Dan nafs(jiwa)-mu sucikanlah, yaitu dari dosa.
d. Dan jasadmu sucikanlah, yaitu dari beberapa maksiat zahir.
e. Dan keluargamu sucikanlah dari berbagai kesalahan dengan nasihat dan pendidikan. Dikaitkan dengan surat al-Baqarah
ayat 187.
f. Dan akhlakmu bguskanlah (pendapat al-Hasan dan al-Kurdzi).
g. Dan agamamu sucikanlah.
h. Dan pakaian zahirmu sucikanlah, yaitu dari najis dan perbuatan haram.
Disebutkan pula dalam buku “Panduan Dakwah: Menyemai Generasi Qur’ani Merujuk Tahapan Turunnya al-Qur’an” yang diterbitkan oleh Departemen Dakwah DPP Hidayatullah 2005, bahwa bersih dalam hal kebersihan diri, kebersihan harta, kebersihan moral, dan kebersihan jabatan.
Tafsir al-Mishbah. Penulis tafsir tersebut memilih dalam mengartikan kata tsiyab dan thahir kedalam bentuk hakiki yaitu memebersihakan pakaian dari segala macam kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih sehingga nyaman dipakai dan dipandang. Hal tersebut didukung dari sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, Rasulullah Saw yang ketakutan melihat Jibril bertekuk lutut dan terjatuh ketanah sehingga tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Kebersihan ini merupakan kata kiasan yang biasa dipakai orang Arab dengan maksud kebersihan hati, akhlak, dan mala perbuatan. Kebersihan dan kesucian ini termasuk pakaian dan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya.
Kebersihan dan kesucian adalah keadaan yang sangat cocok untuk menerima kehadiran makhluk tertinggi, sebagaimana kesucian ini merupakan sesuatu yang paling lekat dengan risalah ini.
LANJUT!
“Dan pakaianmu bersihkanlah !”
Tafsir Ibnu Katsir. Ada yang mengatakan, bersihkanlah dari dosa dan kemaksiatan. Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud adalah membersihkan kalbu. Diakatakan pula, cucilah pakaianmu dengan air, karena orang-orang musyrik itu dahulu tidak pernah bersuci, maka Allah memerintahkan beliau untuk bersuci dan membersihkan pakaiannya. Pendapat inilah yang menjadi pegangan ibnu Jarir. Namun, ayat ini mencakup semua penafsiran diatas, karena orang-orang Arab sering mengatakan hati dengan pakaian.
Tafsir Jalalain. “Dan pakaianmu sucikanlah dari najis”
Tafsir al-Qurthubi. Dalam menafsirkan ayat tersebut terdapat dalam delapan pendapat. Hal itu dikaitkan dengan maksud makna tsiyab yaitu amal, hati, nafs, jasad, keluarga, akhlak, addiin, dan pakaian zahir. Dalam buku “Panduan Berislam : Buku 4.
Paket Dakwah” yang diterbitkan DPP Hidayatullah pada tahun 2001 di halaman 54 disebtkan makna ta’wil ayat tersebut berdasar pengertian tsiyab adalah :
a. Dan amalmu perbaikilah (pendapat Mujahid dan Ibnu Zaid).
b. Dan hatimu sucikanlah. Mawardi berkata, suci dari dosa dan maksiat serta khianat.
c. Dan nafs(jiwa)-mu sucikanlah, yaitu dari dosa.
d. Dan jasadmu sucikanlah, yaitu dari beberapa maksiat zahir.
e. Dan keluargamu sucikanlah dari berbagai kesalahan dengan nasihat dan pendidikan. Dikaitkan dengan surat al-Baqarah
ayat 187.
f. Dan akhlakmu bguskanlah (pendapat al-Hasan dan al-Kurdzi).
g. Dan agamamu sucikanlah.
h. Dan pakaian zahirmu sucikanlah, yaitu dari najis dan perbuatan haram.
Disebutkan pula dalam buku “Panduan Dakwah: Menyemai Generasi Qur’ani Merujuk Tahapan Turunnya al-Qur’an” yang diterbitkan oleh Departemen Dakwah DPP Hidayatullah 2005, bahwa bersih dalam hal kebersihan diri, kebersihan harta, kebersihan moral, dan kebersihan jabatan.
Tafsir al-Mishbah. Penulis tafsir tersebut memilih dalam mengartikan kata tsiyab dan thahir kedalam bentuk hakiki yaitu memebersihakan pakaian dari segala macam kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih sehingga nyaman dipakai dan dipandang. Hal tersebut didukung dari sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, Rasulullah Saw yang ketakutan melihat Jibril bertekuk lutut dan terjatuh ketanah sehingga tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Kebersihan ini merupakan kata kiasan yang biasa dipakai orang Arab dengan maksud kebersihan hati, akhlak, dan mala perbuatan. Kebersihan dan kesucian ini termasuk pakaian dan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya.
Kebersihan dan kesucian adalah keadaan yang sangat cocok untuk menerima kehadiran makhluk tertinggi, sebagaimana kesucian ini merupakan sesuatu yang paling lekat dengan risalah ini.
LANJUT!
Tafsir Surah Al-Muddatstsir Ayat 3
AYAT 3
“Dan Tuhanmu agungkanlah !”
Menurut Tafsir al-Mishbah. Karena memberi peringatan dapat mengakibatkan kebencian dan gangguan dari yang diperingati, maka ayat diatas melanjutkan bahwa dan bersamaan dengan itu hanya Tuhan Pemelihara dan Pendidikmu saja – apapun yang terjadi maka agungkanlah !
Mengagungkan Tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan dan sikap batin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu Akbar.
Takbir dengan sikap batin adalah meyakini bahwa Dia Maha Besar, kepada-Nya tunduk segala makhluk dan kepada-Nya kembali keputusan segala sesuatu. Takbir dengan perbuatan adalah pengejawantahan makna-makna yang dikandung “takbir dengan sikap batin” tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.
Ketika seseorang bertakbir, maka pada hakikatnya ada dua hal yang seharusnya ia capai. Pertama, pernyataan yang keluar menyangkut sikap batinnya tersebut. Kedua, mengatur sikap lahirnya sehingga setiap langkahnya berada dalam kerangka makna kalimat tersebut.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Hanya mengagungkan Tuhan karena selainnya adalah kecil. Setiap orang, setiap sesuatu, setiap nilai dan setiap hakikat adalah kecil dan hanya Allah sendiri Yang Maha Agung. Ini adalah pengarahan kepada Rasulullah Saw yang akan menghadapi tugas memberi peringatan kepada manusia, sebuah tugas yang sangat besar dan amat berat. Dengan tashawur yang seperti itu maka terasa kecil segala tipu daya, segala kekuatan, dan segala hambatan. Hanya Allah yang Maha Agung.
LANJUT!
“Dan Tuhanmu agungkanlah !”
Menurut Tafsir al-Mishbah. Karena memberi peringatan dapat mengakibatkan kebencian dan gangguan dari yang diperingati, maka ayat diatas melanjutkan bahwa dan bersamaan dengan itu hanya Tuhan Pemelihara dan Pendidikmu saja – apapun yang terjadi maka agungkanlah !
Mengagungkan Tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan dan sikap batin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu Akbar.
Takbir dengan sikap batin adalah meyakini bahwa Dia Maha Besar, kepada-Nya tunduk segala makhluk dan kepada-Nya kembali keputusan segala sesuatu. Takbir dengan perbuatan adalah pengejawantahan makna-makna yang dikandung “takbir dengan sikap batin” tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.
Ketika seseorang bertakbir, maka pada hakikatnya ada dua hal yang seharusnya ia capai. Pertama, pernyataan yang keluar menyangkut sikap batinnya tersebut. Kedua, mengatur sikap lahirnya sehingga setiap langkahnya berada dalam kerangka makna kalimat tersebut.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Hanya mengagungkan Tuhan karena selainnya adalah kecil. Setiap orang, setiap sesuatu, setiap nilai dan setiap hakikat adalah kecil dan hanya Allah sendiri Yang Maha Agung. Ini adalah pengarahan kepada Rasulullah Saw yang akan menghadapi tugas memberi peringatan kepada manusia, sebuah tugas yang sangat besar dan amat berat. Dengan tashawur yang seperti itu maka terasa kecil segala tipu daya, segala kekuatan, dan segala hambatan. Hanya Allah yang Maha Agung.
LANJUT!
Tafsir Surah Al-Muddatstsir Ayat 2
AYAT 2
“Bangunlah, lalu berilah peringatan !”
Secara lughowi qum adalah fiil amar (kata perintah) yang berasal dari akar kata qawama yang berarti bangun, atau bermakna melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagi segi. Kemudian andzara berarti : janji, awal sesuatu, penyampaian yang
mengandung unsur menakut-nakuti. Dalam kitab al-Qur’an dan terjemahnya terbitan Departemen Agama Indonesia ayat tersebut diatas diartikan : bangunlah, lalu beri peringatan !
Tafsir Jalalain menanfsirkannya : Takut-takutilah penduduk Makkah dengan neraka, jika mereka tidak beriman.
Tafsir al-Qurthubi menanfsirkannya sebagai berikut :
a) Takut-takutilah penduduk Makkah dan peringatkanlah mereka dengan azab, jika tidak berislam.
b) Umumkan nubuwah risalah, karena sesungguhnya itu merupakan mukaddimahnya.
c) Serulah mereka untuk bertuhid, karena itulah tujuan dakwah.
Tafsir Ibnu Kastir. “Bangunlah, lalu berilah peringatan.” Yaitu, berikanlah peringatan kepada manusia. Dengat ayat ini
jadilah ia seorang rasul, sebagaimana dengan ayat pertama menjadikannya seorang nabi. Penafsirkannya sebagai berikut :
a) Bersiaplah dan peringatkanlah manusia, dan dengan ini misi kerasulan sampai sejak awal nubuwwah.
b) Takut-takutilah penduduk Makkah dengan neraka, jika mereka tidak beriman.
Menurut Tafsir al-Mishbah. Memerintahkan Nabi Muhammad Saw bangkitlah secara bersungguh-sungguh dan dengan penuh semangat
lalu berilah peringatan. Kata qum terambil dari kata qawama yang mempunyaibanyak bentuk. Secara umum, kata-kata yang dibentuk
dari akar kata tersebut diartikan sebagai “melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya.” Karena itu, perintah tersebut menuntut kebangkitan yang sempurna, penuh semangat dan percaya diri, sehingga yang diseru –dalam hal ini adalah Nabi Muhammad Saw- harus membuka selimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang menghadapi kaum musyrikin.
Kata andzir berasala dari kata nadzara yang mempunyai banyak arti, antara lain sedikit, awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan sesuatu bila terpenuhi syaratnya. Pada ayat ini biasa diterjemahkan dengan peringatkanlah. Peringatan
didefinisikan sebagai penyampaian yang mengandung unsur menakuti-nakuti. Bila diperhatikan arti asal kosa kata tersebut, maka peringatan yang disampaikan itu merupakan sebagaian kecil serta pendahuluan dari suatu hal yang besar dan berkepanjangan, dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama syaratnya telah terpenuhi. Syarat tersebut adalah pengabaian kandungan peringatan.
Menurut Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Rasulullah Saw diperintahkan untuk memberikan peringatan, karena peringatan adalah aktivitas paling menonjol didalam risalah. Yaitu memperingatkan terhadap bahaya yang dekat yang senantiasa mengintai orang
yang lalai dan kebingungan dalam kesesatan namun mereka tidak menyadari. Hal itu menunjukan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia karena sekalipun manusia dalam kesesatan dan kelalaian semua itu tidak menambah ataupun mengurangi kekuasaan-Nya.
Qum Faandzir dalam Sistematika Wahyu. Wahyu ini merupakan perintah kepada Rasulullah Saw (pembawa misi Qur’ani) untuk tampil ke gelanggang dakwah. Perintah ini merupakan rangkaian tak terpisahkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, al-‘Alaq, al-Qalam,al-Muzzammil dan wahyu sesudahnya al-Fatihah. Bagi yang menapaktilasi dakwah Rasulullah Saw, hal ini merupakan isyarat bahwa perintah wahyu-wahyu sebelumnya merupakan persiapan dan pembekalan yang mutlak harus diamalkan dan dimiliki nilai-nilainya agar diridhloi Allah Swt.
Tahap-tahap peringatan adalah sebagai berikut :
1) Islahu an-nafsi (memperbaiki diri)
2) Islahu al-baiti (memperbaiki rumah tangga)
3) Irsyad al-mujtama’ (membimbing masyarakat)
4) Tahriru al-balad (berjuang melepaskan negeri dari penjajahan asing)
5) Islahu al-hkumah (memperbaiki pemerintahan yang ada)
6) Iqmatu al-khilafah al-Islamiyah al-‘alamiyah (menegakkan kepemimpinan dunia Islam)
7) Ustadziyat al-‘alam (menjadi guru bagi dunia)
LANJUT!
“Bangunlah, lalu berilah peringatan !”
Secara lughowi qum adalah fiil amar (kata perintah) yang berasal dari akar kata qawama yang berarti bangun, atau bermakna melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagi segi. Kemudian andzara berarti : janji, awal sesuatu, penyampaian yang
mengandung unsur menakut-nakuti. Dalam kitab al-Qur’an dan terjemahnya terbitan Departemen Agama Indonesia ayat tersebut diatas diartikan : bangunlah, lalu beri peringatan !
Tafsir Jalalain menanfsirkannya : Takut-takutilah penduduk Makkah dengan neraka, jika mereka tidak beriman.
Tafsir al-Qurthubi menanfsirkannya sebagai berikut :
a) Takut-takutilah penduduk Makkah dan peringatkanlah mereka dengan azab, jika tidak berislam.
b) Umumkan nubuwah risalah, karena sesungguhnya itu merupakan mukaddimahnya.
c) Serulah mereka untuk bertuhid, karena itulah tujuan dakwah.
Tafsir Ibnu Kastir. “Bangunlah, lalu berilah peringatan.” Yaitu, berikanlah peringatan kepada manusia. Dengat ayat ini
jadilah ia seorang rasul, sebagaimana dengan ayat pertama menjadikannya seorang nabi. Penafsirkannya sebagai berikut :
a) Bersiaplah dan peringatkanlah manusia, dan dengan ini misi kerasulan sampai sejak awal nubuwwah.
b) Takut-takutilah penduduk Makkah dengan neraka, jika mereka tidak beriman.
Menurut Tafsir al-Mishbah. Memerintahkan Nabi Muhammad Saw bangkitlah secara bersungguh-sungguh dan dengan penuh semangat
lalu berilah peringatan. Kata qum terambil dari kata qawama yang mempunyaibanyak bentuk. Secara umum, kata-kata yang dibentuk
dari akar kata tersebut diartikan sebagai “melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya.” Karena itu, perintah tersebut menuntut kebangkitan yang sempurna, penuh semangat dan percaya diri, sehingga yang diseru –dalam hal ini adalah Nabi Muhammad Saw- harus membuka selimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang menghadapi kaum musyrikin.
Kata andzir berasala dari kata nadzara yang mempunyai banyak arti, antara lain sedikit, awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan sesuatu bila terpenuhi syaratnya. Pada ayat ini biasa diterjemahkan dengan peringatkanlah. Peringatan
didefinisikan sebagai penyampaian yang mengandung unsur menakuti-nakuti. Bila diperhatikan arti asal kosa kata tersebut, maka peringatan yang disampaikan itu merupakan sebagaian kecil serta pendahuluan dari suatu hal yang besar dan berkepanjangan, dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama syaratnya telah terpenuhi. Syarat tersebut adalah pengabaian kandungan peringatan.
Menurut Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Rasulullah Saw diperintahkan untuk memberikan peringatan, karena peringatan adalah aktivitas paling menonjol didalam risalah. Yaitu memperingatkan terhadap bahaya yang dekat yang senantiasa mengintai orang
yang lalai dan kebingungan dalam kesesatan namun mereka tidak menyadari. Hal itu menunjukan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia karena sekalipun manusia dalam kesesatan dan kelalaian semua itu tidak menambah ataupun mengurangi kekuasaan-Nya.
Qum Faandzir dalam Sistematika Wahyu. Wahyu ini merupakan perintah kepada Rasulullah Saw (pembawa misi Qur’ani) untuk tampil ke gelanggang dakwah. Perintah ini merupakan rangkaian tak terpisahkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, al-‘Alaq, al-Qalam,al-Muzzammil dan wahyu sesudahnya al-Fatihah. Bagi yang menapaktilasi dakwah Rasulullah Saw, hal ini merupakan isyarat bahwa perintah wahyu-wahyu sebelumnya merupakan persiapan dan pembekalan yang mutlak harus diamalkan dan dimiliki nilai-nilainya agar diridhloi Allah Swt.
Tahap-tahap peringatan adalah sebagai berikut :
1) Islahu an-nafsi (memperbaiki diri)
2) Islahu al-baiti (memperbaiki rumah tangga)
3) Irsyad al-mujtama’ (membimbing masyarakat)
4) Tahriru al-balad (berjuang melepaskan negeri dari penjajahan asing)
5) Islahu al-hkumah (memperbaiki pemerintahan yang ada)
6) Iqmatu al-khilafah al-Islamiyah al-‘alamiyah (menegakkan kepemimpinan dunia Islam)
7) Ustadziyat al-‘alam (menjadi guru bagi dunia)
LANJUT!
Tafsir Surah Al-Muddatstsir Ayat 1
AYAT 1
“Hai orang yang berkemul (berselimut)”
Menurut Tafsir Ibnu Kastir. Ditegaskan dalam Sahih Bukhari bahwa Jabir berkata, “Surah al-Qur’an pertama kali diturunkan adalah surah ya ayyuhal muddatstir. Namun pendapatnya ini ditentang oleh jumhur ulama. Dan mereka mengatakan, Justru yang pertama kali turun adalah iqra’ bismi rabbikal-ladzi kholaqa.” Jabir r.a berpendapat seperti itu berpegang kepada sebuah hadits yang dia dengar sendiri dari Rasulullah Saw.
“Aku berkhalwat di Gua Hira. Setelah aku selesai, aku pun turun, lalu terdengar seruan kepadaku. Aku melihat ke kanan, namun aku tidak melihat apa-apa. Aku melihat ke kiri, juga tidak melihat apa-apa. Aku melihat kedepan, tetap tidak melihat apa-apa. Dan aku melihat ke belakang, juga tidak melihat apa2. Namun ketika aku melihat ke atas, barulah aku melihat sesuatu. Aku pun segera mendatangi Khadijah dan mengatakan, “ Selimutillah aku dan siramilah aku dengan air yang dingin.” Maka mereka pun menyelimutiku dan menyiramiku dengan air yang dingin. Maka turunlah surah ya ayyuhal muddatstir …. Dan seterusnya” (HR. Imam Bukhari)
Menurut Tafsir al-Mishbah. Hai orang yang berselimut yakni wahai Nabi Muhammad Saw, bagkitlah dengan sempurna dan giat, lalu berilah peringatan mereka yang lengah dan melupakan Allah. Panggilan hai yang berselimut merupakan panggilan rasa kasih sayang serta “kedekatan” Allah kepada pribadi yang diseru. Sebagaimana sahabat Nabi Hudzifah r.a, ketika ditemuai oleh Nabi Muhammad Saw sedang tertidur pada malam peperangan Khandaq, beliau membangunkannya dengan menyerunya Qum ya Nauman (bangunlah wahai si penidur). Demikian juga ketika terjadi kesalahpahaman Ali bin Abi thalib dengan Fatimah r.a, sehingga ‘Ali pergi dari rumah dan tertidur di masjid samapai pakaian dan tubuhnya berlumuran tanah, Nabi memabngunkannya dengan ucapan Qum ya Aba Turab ( bangunlah, wahai yang penuh dengan tanah).Ucapan2 tersebut menggambarkan bahwa pengucapnya tidak marah, bahkan menyayangi dan merasa dekat dengan orang yang diseru.
LANJUT!
“Hai orang yang berkemul (berselimut)”
Menurut Tafsir Ibnu Kastir. Ditegaskan dalam Sahih Bukhari bahwa Jabir berkata, “Surah al-Qur’an pertama kali diturunkan adalah surah ya ayyuhal muddatstir. Namun pendapatnya ini ditentang oleh jumhur ulama. Dan mereka mengatakan, Justru yang pertama kali turun adalah iqra’ bismi rabbikal-ladzi kholaqa.” Jabir r.a berpendapat seperti itu berpegang kepada sebuah hadits yang dia dengar sendiri dari Rasulullah Saw.
“Aku berkhalwat di Gua Hira. Setelah aku selesai, aku pun turun, lalu terdengar seruan kepadaku. Aku melihat ke kanan, namun aku tidak melihat apa-apa. Aku melihat ke kiri, juga tidak melihat apa-apa. Aku melihat kedepan, tetap tidak melihat apa-apa. Dan aku melihat ke belakang, juga tidak melihat apa2. Namun ketika aku melihat ke atas, barulah aku melihat sesuatu. Aku pun segera mendatangi Khadijah dan mengatakan, “ Selimutillah aku dan siramilah aku dengan air yang dingin.” Maka mereka pun menyelimutiku dan menyiramiku dengan air yang dingin. Maka turunlah surah ya ayyuhal muddatstir …. Dan seterusnya” (HR. Imam Bukhari)
Menurut Tafsir al-Mishbah. Hai orang yang berselimut yakni wahai Nabi Muhammad Saw, bagkitlah dengan sempurna dan giat, lalu berilah peringatan mereka yang lengah dan melupakan Allah. Panggilan hai yang berselimut merupakan panggilan rasa kasih sayang serta “kedekatan” Allah kepada pribadi yang diseru. Sebagaimana sahabat Nabi Hudzifah r.a, ketika ditemuai oleh Nabi Muhammad Saw sedang tertidur pada malam peperangan Khandaq, beliau membangunkannya dengan menyerunya Qum ya Nauman (bangunlah wahai si penidur). Demikian juga ketika terjadi kesalahpahaman Ali bin Abi thalib dengan Fatimah r.a, sehingga ‘Ali pergi dari rumah dan tertidur di masjid samapai pakaian dan tubuhnya berlumuran tanah, Nabi memabngunkannya dengan ucapan Qum ya Aba Turab ( bangunlah, wahai yang penuh dengan tanah).Ucapan2 tersebut menggambarkan bahwa pengucapnya tidak marah, bahkan menyayangi dan merasa dekat dengan orang yang diseru.
LANJUT!
Langganan:
Postingan (Atom)