Senin, 17 Agustus 2009

Filsafat Agama Dalam Pemikiran al-Ghazali

Yang menjadikan al-Ghazali sebagai seorang filosof Islam adalah bahwa masalah-masalah yang dibahas oleh al-Ghazali dan pendapat-pendapat yang dikemukakannya termasuk dalam inti masalah apa yang disebut dalam kalangan filosof “filsafat agama”. Masalah filsafat agama dalam pandangan kalangan konservatif bukanlah masalah pembahasan filsafat yang bebas, tetapi ia adalah pembahasan filsafat agama tertentu.
Pemikiran al-Ghazali didominasi oleh pandangan bahwa agama Islam mengandung dua jenis penafsiran atau pemahaman : pertama, tafsir duniawi yang berkaitan dengan manusia dalam cahaya wujudnya yang sekarang; kedua, tafsir ukhrawi yang berkaitan dengan manusia dalam cahaya wujudnya yang terakhir di hari nanti. Penafsiran yang pertama menonjol dalam kalangan fuhaka atau pemuka-pemuka ilmu syara' atau para pembuat fatwa, yaitu penafsiran yang menyingkap “Islam Syari'at” yang ajarannya mengarah kepada kehidupan dunia yang dipandang sebagai kebun akhirat. Kedua, penafsiran mistik terhadapa agama, suatu penafsiran yang menyingkap kerohanian etika Islam, memalingkan diri dari kehidupan dunia dan mengarahkan ajarannya kepada persiapan bagi kehidupan ukhrawi. Al-Ghazali menyebutnya “ilmu jalan akhirat atau ilmu hati atau ilmu yakin atau ilmu akhirat”.

Dalam teori ma'rifah batin (dzauqiyyah) al-Ghazali memberikan perumpamaan :
“Hati itu seperti kaca, demikian Luh Mahfudz, karena padanya terdapat citra semua wujud ini. Jika kaca dihadapkan dengan kaca, maka beralihlah citra sesuatu yang ada pada salah satunya kepada yang lain. Dan demikianlah tampak citra sesuatu di Luh Mahfudz pada hati jika ia kosong dari nafsu duniawi. Dan jika ia bergelimang dalam nafsu itu, maka alam malakut terhijab kepadanya. Dan jika dalam keadaan tidur, ia kosong dari hubungan indrawi, maka ia melihat hakikat alam malakut, sehingga tampak padanya sebagian citra yang ada di Luh Mahfudz. Dan jika pintu panca indera ditutup, maka timbulah khayal dan karena itu apa yang dilihatnya (terletak) di bawah selubung kulit (yakni terbungkus dalam citra khayal) dan tidak tersingkap sebagai hakekat yang jelas terang. Jika suatu hati telah mati dengan sebab mati orangnya maka tidak ada khayal dan panca indera yang tinggal kekal dan pada waktu itu ia melihat tanpa waham dan khayal, dan kepadanya dikatakan (al-Qur'an, 50:22) yang artinya: Maka kami singkapkan darimu selubung atau tiraimu, sehingga pandanganmu sekarang menjadi tepat jelas”.
Dari perumamaan tersebut mengandung prinsip:
1) Ma'rifah Kasyfiyyah, (ilmu yang diperoleh dari kasyf) adalah pantulan dari citra-citra antara dua cermin yang berhadapan.
2) Hati manusia hanya sipa sedia menerima citra dari Luh Mahfudz jika cerminnya telah terasah mengkilat melalui mujahadah. nilah unsur etis yang diperlukandalam ma'rifah.
3) Apabila jiwa manusia yang mengkilat cerminnya memperhatikan sesuatu hal tertentu, maka cermin lain hanya memantulkan atasnya citra-citra yang sesuai dengan apa yang diperhatikannya. Inilah apa yang disebut “arahan perhatian” dan merupakan bukti kemungkinan pertukaran pantulan antar dua cermin yang berhadapan.


 Copyright @ 2009. Dunia Islam Indonesia