Senin, 17 Agustus 2009

Ketuhanan Dalam Pemikiran Ibn Sina Dan Ibn Rusydi Wujud

Jalan yang dipilih Ibn Sina bukanlah jalan para mutakalimin yang berdalil dengan alam ini terhadap adanya Allah, berdalil dengan makhluk terhadap adanya Khalik. Dalil ini, menurut Ibn Sina hanya sesuai bagi kebanyakan orang awam dan karena itu ia memilih dalil lain yang didasarkan pada perbedan wajib dan mungkin, tanpa adanya suatu pertimbangan lain selain wujud itu sendiri, Ia berdalil dengan ”kemungkinan segala yang mungkin” (imkan al-mukminat) terhadap wujud Yang Wajib (Tuhan). Pemikiran ini diuangkapkannya sebagai berikut :
Renungkan ! Betapa keterangan kami dalam menetapkan Yang Pertama (al-Awwal), keesaan-Nya dan bersih-Nya dari tanda-tanda (bara’atuhu ’ani’s-simat) tidak memerlukan renungan kepada selain wujud itu sendiri, tidak memerlukan kepada pertimbangan penciptaan dan perbuatan-Nya. Namun, hal ini lebih lebih terpercaya dan mulia, yakni bila kita melihat keadaan wujud, maka terlihatlah wujud dari segi wujudnya (min haitsu huwa wujud) dan sesudah itu ia menyaksikan (menjadi dalil) akan yang lain-lain dalam wujud ini. Kepada yang seperti ini terdapat isyarat dalam kitab Ilahi: (al-Qur’an, 41:53): ” Akan Kami pelihatkan kepada mereka tanda-tanda (wujud) Kami di ufuk dan dalam diri mereka, sehingga jelas baginya bahwa Ia adalah benar (adanya). ” Saya katakan : ”Ini adalah ketentuan (hukmun) bagi suatu golongan.” Kemuadian Ia (Allah) berkata : ”Tidakkah Tuhanmu cukup menjadi saksi (bukti) atas segala sesuatu.” Saya katakan : ”Sesungguhnya inilah ketentuan bagi orang-orang yang benar (shiddiqin) yang dengan-Nya, bukan atas-Nya, mereka berdalil (yastasyhiduna bihi la’alaihi).”

Jadi yang disukai Ibn Sina ialah dalil yang terpusat pada pembedaan wajib dan mungkin. Dalam kitab al-Najah, Ibn Sina menyatakan wajib al-wujud (yang wajib ada) adalah suatu maujud yang jika diandaikan tidak ada, maka timbulah mustahil. Sedangkan mumkin al-wujud (yang mungkin ada) ialah jika diandaikan tidak ada atau ada, maka tidak menimbulkan mustahil. Dengan kata lain, wajib al-wujud adalah yang harus adanya dan mumkin al-wujud ialah yang tidak ada keharusan baik adanya maupun tidak adanya.
Dua sifat ini : wajib an mungkin, terdapat pada sesuatu dengan hanya memandang dzat saja, tidak lainnya yang terdapat bersamanya. Jika tidak demikian maka terdapat wajib wujud pada waktu mengamati ’illat (sebab) atau syarat lain yang bukan dzat. Dalam hal ini, ia bukan Tuhan yang wajib wujud, menurut Ibn Sina dan para mutakallimin.
Sebagai contoh ia mengatakan empat adalah wajib adanya bukan karena dzat tapi pada waktu adanya dua tambah dua. Begitu pula kebakaran itu wajib adanya, bukan karena dzat tapi pada waktu adanya sentuhan api yaitu pada waktu diperkirakan pertemuan kekuatan aktif dengan kekuatan pasif pada tabiatnya masing-masing, artinya yang membakar dan yang dibakar.
Pembagian Ibn Sina akan sesuatu kepada wajib wujud dzati dan mumkin wujud dzati, yakni pembagian dualistis tidaklah berbeda dengan pembagian para mutakallimin : wajib wujud, mustahil wujud dan mumkin wujud (trilistis). Yang mustahil wujud ialah sesuatu sesuatu yang mungkin wujud dari dzatnya tetapi ada sesuatu yang membuatnya mustahil adanya dari sebab lainnya, sama saja apakah ”yang lain” itu ada atau tidak ada sebab bagi adanya. Ibn Sina menjelaskan :
Semua yang ada (maujud) jika dilihat dari sisi dzatnya bukan dari sisi lainnya maka ia wajib wujudnya pada dirinya atau tidak wajib. Jika ia wajib maka dialah yang benar dengan dzatnya, wajib wujud dari dzatnya yakni yang berdiri sendiri. Dan jika tidak wajib maka tidak boleh dikatakan bahwa ia mustahil (mumtani’) dari dzatnya, setelah diperkirakan ia ada. Malah jika ia disertai sesuatu syarat tidak ada sebabnya, jadilah ia mustahil atau seperti syarat ada sebabnya, jadilah ia wajib adanya (dengan lainnya). Dan adapun jika tidak disertai sesuatu syarat, tidak pada ada sebabnya dan tidak pada tidak adanya (sebab) maka tetaplah ia pada dzatnya hal yang ketiga, yakni kemungkinan (imkan) sehingga adalah ia, dari sisi dzatnya, sesuatu yang tidak wajib dan tidak mustahil. Jadi semua yang ada, ada kalanya wajib adanya dengan dzatnya atau mungkin adanya dengan dzatnya.
Setelah menjelaskan arti wajib dzati dan mumkin dzati, Ibn Sina menyebutkan bahwa ”sebab kebutuhan kepada Yang Wajib adlah mungkin bukan baru (huduts) yang di pahami para mutakallimin”. Dalam kitabnya Ibn Sina menetapkan bahwa yang mungkin itu perlu kepada Yang wajib dan tentunya ia sendiri menjadi wajib dengannya, karena lingkaran dan rentetan sebab (daur watasalsul) adalah mustahil akali. Juga untuk menjelaskan bahwa cara orang-orang khusus menetapkan wujud Allah adalah penalaran tentang wujud itu sendiri secara mutlak, yakni wujud wajib dzati dan wujud mumkin dzati, yang secara akali mengharuskan adanya wujud yang mula sebagai sebab bagi wujud kedua.
Jelasnya, pembagian wujud kepada 1) : ”mungkin yang bersebab ” berarti penyamaan ”ada” dan ”tidak ada”, sedangkan ”sebab” berperan sebagai penguat bagi adanya, dan jika tidak, maka ia pun tidak ada; dan kepada 2): ”tidak mungkin” yakni wajib wujud dzati. Pembagian ini tidak menjangkau wujud menurut wujudnya. Karena ”mungkin yang bersebab” dapat dibagi kepada mumkin hakiki (mungkin ada dan mungkin tiada) dan mumkin dharuri (mungkin yang mesti) yang nyata adanya. Dari itu, jika dipahami ”mungkin” sebagai mumkin hakiki, maka akan sampai kepada mumkin dharuri, tidak kepada wujud dharuri (wajib wujud dzati) yang tidak bersebab. Karena pada segenap mumkin hakiki, mustahil adanya sebab-sebab yang tidak berakhir.
Ibn Rusydi memperbaiki dalil bahwa segala yang mungkin haruslah didahului oleh sebab-sebab, dan jika sebab-sebab ini mungkin, tentunya ia perlu kepada sebab-sebab dan demikianlah seterusnya tanpa akhir. Jika demikian, maka tidak ada sebab, sehingga lazim adanya mungkin tanpa sebab. Hal ini mustahil. Dari itu, sebab-sebab itu mesti berakhir pada sebab yang mesti. Jika memang demikian, maka sebab yang mesti itu, mestinya itu karena ada sebab atau tidak bersebab. Jika ia bersebab, maka sebab itu dipertanyakan juga apakah ia akan berlalu tanpa akhir, sehingga mestilah ada sesuatu yang bersebab tidak ada sebab, dan ini mustahil. Jadi, mestilah berakhir pada sebab sharuri tanpa sebab, yakni dengan sendirinya. Inilah ia wajib wujud dan dengan demikian dalil Ibn Sina menjadi benar. Adapun apa yang dilakukan Ibn Sina tentang mumkin itu adalah tidak benar karena pembagian itu tidak mencukupi wujud seluruhnya.
Ibn Rusydi menyebutkan bahwa jalan yang dapat membawa kita kepada pengakuan adanya Allah dan juga al-Qur’an telah mengingatkannya adalah dalil ’inayah dan dalil ikhtira’. Dalil ’inayah didasarkan pada suatu kenyataan bahwa semua yang ada ini adalah sesuai dengan kebutuhan manusia karena semua itu telah dijadikan oleh Pencipta yang menghendaki hal yang demikian. Sedangkan dalil ikhtira’ didasarkan pada segala sesuatu yang dilangit dan dibumi adalah diciptakan bukan terjadi dengan sendirinya dengan bukti penyaksian kita sendiri, dan dengan dalil gerak langit sebagai indikator bahwa ia diperuntukkan untuk kita. Setiap yang dijadikan seperti itu tentunya ada Pencipta sehingga dengan dua dalil ini dapat dibuktikan bahwa alam semesta ini ada Penciptanya.
Pencipta Alam
Masalah ini telah menimbulkan perbedaan besar yang tajam antara Ibn Sina dan para pengikutnya dengan para mutakallimin yang diwakili oleh al-Ghazali dan Ibn Rusydi. Ibn Sina dan al-Farabi sebelumnya mengemukakan dua dasar :
a. Alam ini kadim dari segi zaman. Sebabnya karena keluar dari Pencipta yang kadim yang merupakan hakiki yang sedikitpun tidak berkurang dari alat-alat penciptaan. Inilah masalah kekadiman alam.
b. Yang Esa itu esa dari segala segi, tunggal tidak mengandung pluralitas apa pun. Jadi, darin-Nya hanya satu yang keluar dengan cara melimpah dan dari yang satu ini keluarlah lainnya sehingga selesailah wujud alam ini dengan segala tingkatnya. Inilah masalah emanasi (faidh).
Ibn Sina menjelaskan masalah ini dengan membatasi makna yang dimaksud dengan ”pencipta dan hubungannya dengan apa yang dibuatnya”. Manakala terdapat apa yang dibuat (maf’ul) dari pembuat atau pencipta maka kita memahami bahwa pada mulanya yang dibuat itu tidak ada lalu menjadi ada. Tetapi ”dalam ketiadaannya yang lalu”, pembuat tidak punya pengaruh apa-apa; pengaruhnya hanya pada wujud apa yang dibuat. Adapun yang dibuat disebut demikian karena wujudnya dari lainnya; ia telah ”meniada” dari zatnya dan itu bukan dari pengaruh pembuat.
Jika hal ini dipahami mka kita harus juga memahami bahwa ”pembuat’ itu lebih membuat, sempurna kudrah dan fi’ilnya jika kita sadari bahwa wujud apa yang dibuat tidak pernah mengalami ”ketiadaan” sebelumnya yang merupakan wataknya. Karena yang selalu berbuat adalah lebih sempurna hal perbuatan (fa’iliyyah) dan pengaruh dari pada pembuat lain yang berbuat hanya sewaktu-waktu saja. Bahwa wujud yang berkesinambungan dalam zaman dan yang menetap pada apa yang dibuat sebagai bekas atau buatan dari pembuat adalah lebih kuat bukti kesempurnaan pembuat daripada wujud yang tidak berkesinambungan yakni yang didahului oleh ”tiada”.
Allah menjadikan alam ini dalam keadaan ”ada” bukan dalam keadaan ”tiada” karena tiada itu tidak ada hubungannya dengan pembuat yang membuat. Ibn sina menjelaskan hal ini sebagai berikut :
Yang dibuat (maf’ul) yang kita katakan pembuat yang membuatnya, tidak terlepas dari sifat bahwa ia diciptakan atau ditentukan wujudnya dalam keadaan tiada atau dalam keadaan keduanya. Diketahui bahwa ia tidak diciptakan dalam keadaan tiada maka tentunya tidak diciptakan dalam keadaan keduanya (ada dan tiada). Jadi, tinggalah ia diciptakan dalam keadaan ada.
Segala yang ada dari Allah adalah merupakan kemestian dan akibat dari wujud-Nya. Tidak ada sesuatu yang dijadikan Allah untuk sesuatu selain-Nya. Jadi Ia adalah ”Pembuat Semesta” (al-kull), artinya Dialah yang ada yang darinya melimpah segala sesuatu secara sempurna, berbeda dengan zat-Nya; dan bahwa segala hal yang melimpah dari Yang Pertama (awwal) hanya dengan jalan kemestian (luzum).
Namun, ini tidak boleh dipahami bahwa alam yang melimpah dari Allah itu terjadi dengan sendirinya (tabiat), tanpa kehendak-Nya sehingga dengan itu Ia adalah Tuhan yang terpaksa berbuat sesuatu tanpa kehendak dan pilihan. Ibn Sina sangat berkeinginan untuk menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, karena ia menyadari benar-benar tentang adanya ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan iradah dan ikhtiar bagi Allah, lebih-lebih lagi tidak ada kemungkinan terpikir adanya Tuhan yang tidak ada memiliki sifat-sifat tersebut. Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
Dan bukanlah kejadian alam semesta dari-Nya dengan cara tabi'at, (yakni) bahwa semua terjadi dari-Nya tanpa makrifah dan rela-Nya. Betapa hal ini benar, sedangkan Ia akal semata yang memikir zat-Nya. Maka Ia wajib berpikir bahwa alam semesta ini harus terjadi dari-Nya, karena Ia berpikir tentang zat-Nya hanya sebagai akal semesta prinsip pertama. Dan Ia hanya mengetahui wujud alam semesta dari-Nya sebagai prinsipnya dan tidak pada zat-Nya sesuatu larangan atau paksaan bagi keluar alam semesta dari-Nya. Dan zat-Nya mengetahui kesempurnaan dan ketinggian kesempurnaan dan ketinggian-Nya sehingga melimpah kebaikan dari-Nya dan itu dari kemestian keagungan-Nya yang diasyiki oleh-Nya karena zat-Nya.
Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa alam ini haruslah kadim, seperti sebabnya (Allah) dan ia menyertai wujud-Nya sejak azali dan abadi. Alam ini tidak mungkin baru, sehingga tidak terjadi sesuatu perubahan pada zat Allah. Maha suci Allah dari sesuatu perubahan dan kemungkinan. Kesempurnaan Allah dalam perbuatan-Nya, sejak azali dan abadi hanya terwujud jika kita mengatakan bahwa alam ini kadim.
Jadi alam ini kadim dan ia melimpah dari Allah, menurut Ibn Sina adlah sesuai dengan ajaran agama yang telah menetapkan kesempurnaan bagi Allah. Dan kesempurnaan itu sudah pasti akan ada jika kita mengatakan Allah adalah Pembuat (Pencipta) sejak azali dan senantiasa berbuat pada setiap saat tidak hanya pada saat tertentu saja.
Perbedaan besar antara Allah dengan alam ini, walaupun alam itu sendiri kadim wujudnya adalah terletak pada sebab (Allah) yang membuat alam ini berwujud. Alam ini kadim zamani, wujudnya bersamaan dengan wujud Allah. Adapun dari segi zat alam ini baru karena wujudnya dari wujud sebabnya (Allah). Sedangkan Allah adalah kadim dzati. Ia sebab bagi semua yang ada dan Pencipta alam semesta. Dengan demikian alam ini baru dan kadim : baru dari segi dzat (huduts dzati) dan kadim dari segi zaman (qidam zamani). Perbedaan istilah ini timbul dari segi mana kita memandang.
Teori ini telah mengundang kritik tajam dari Imam al-Ghazali. Menurut al-Ghazali teori Ibn Sina tersebut sesat dan salah karena dapat menggiring orang untuk mengatakan alam ini kadim (tidak bermula) serta menfikan iradah dan ikhtiar Allah, Jika alam ini melimpah dari Allah sebagai sesuatu keharusan yang mesti sejak azali maka ini berarti wujud alam adalah akibat dari wujud Allah sehingga keduanya sejenis dan serupa dalam wujud yang kadim. Ini berarti mustahil alam ini terjadi sebagai ciptaan dan makhluk Allah.
Ibn Rusydi menyadari bahwa kritik al-Ghazali adalah kuat dan benar. Namun ia juga merasa bahwa al-Ghazali juga seperti Ibn Sina, telah memahami teori tersebut yaitu “dari Yang Esa hanya satu yang melimpah”. Ia berupaya untuk menjelaskan bagaimana seharusnya teori itu dipahami. Sesungguhnya, katanya : ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Allah) dengan pembuat yang nyata (manusia). Jika orang berpegang teguh pada perbedaan ini maka akan jelaslah pendapat yang benar dalam masalah ciptaan atau keluarnya alam dari Allah tanpa perlu adanya perantara dari siapapun.
Menurut Ibn Sina, hanya satu yang melimpah yakni akal pertama dan darinya melimpah akal kedua, jiwa dan jisim falak tertinggi yakni langit kesembilan. Kemudian dari akal kedua melimpah tiga makhluk lain : akal ketiga, jiwa dan jisim falak lain. Demikianlah seterusnya hingga limpahan itu sampai ke akal kesepuluh (akal aktif) yang bertanggungjawab terhadap alam anasir atau alam bumi. Ibn Sina mengatakan hal tersebut untuk menjelaskan sebab adanya keragaman dari Allah Yang Esa lagi tunggal dari segala sisi.
Al-Ghazali melancarkan kritiknya dengan mengatakan bahwa :
“Bahwa yang anda sebutkan itu hanyalah rekaan-rekaan (tahakkumat) dan ia sebenarnya kegelapan atas kegelapan. Sekiranya itu diceritakan oleh orang dari apa yang dilihat dalam mimpinya, maka itu adalah dalil bahwa temparemennya telah rusak”.

 Copyright @ 2009. Dunia Islam Indonesia